Embun yang bergelantungan di ujung malai kelapa yang kerdil tampak enggan beranjak. Kepulan asap mulai membumbung tinggi, melewati setiap celah pada bangunan yang mirip dengan gubuk reot kecil yang dindingnya terlihat mulai lapuk dimakan rayap. Burung-burung kecil mulai menyanyikan irama lagu penuh ceria, menyambut sang fajar.
Geliat kehidupan mulai tampak dari ujung jalan setapak di bukit yang dipenuhi ratusan pohon kelapa peninggalan proyek Ibu Tien Soeharto 30 tahun silam. Proyek PIR ( Perkebunan Inti Rakyat ) telah menancapkan sejuta kenangan pahit bagi masyarakat pesisir Selatan Cianjur, karena hampir 2/3 tanah darat milik warga kala itu harus diserahkan untuk dijadikan mega proyek negara di bawah komando PTPN IX.
Pria bertubuh kurus dengan rambut gimbal sebahu yang bertelanjang dada itu mengembuskan napas penuh asap rokok. Secangkir kopi hitam masih mengepulkan asap, menebar aroma yang menari di indra penciumannya.
"Kang, ini bekalnya. Jangan lupa dimakan, aku mau ke salon dulu dibonceng, Nisa. Akang makan, aja, duluan ...." Sebuah suara membuyarkan konsentrasinya menikmati aroma Arabica.
Ya, itu suara istrinya yang bernama Masriah, atau sering akrab dipanggilnya dengan sebutan Imas. Wanita yang sudah lima tahun dinikahi Umar, seorang petani penyadap gula kelapa yang terkenal ulet. Pendidikan yang rendah membuatnya terpaksa bergumul dengan pekerjaan super berat. Bagi sebagian orang, gula itu manis, legit. Namun, bagi pembuatnya gula itu begitu pahit dan getir.
Setiap hari Umar berjibaku menaiki puluhan pohon yang jika angin dan badai datang akan menciutkan nyali, atau ketika petir bersahutan, halilintar menyambar, maka nyawalah taruhannya. Bagi Umar, itu semua tak membuatnya gentar. Bahkan dia rela pulang dini hari, pada saat orang terlelap dalam buaian mimpi. Pria malang itu tetap berjibaku, hanya demi menyelesaikan produksi gula di kala  nira membludak.
Setiap tengah malam, para pengumpul nira kelapa akan bergegas memanjati pohon demi pohon yang menjulang, meliuk tertiup angin laut. Sebuah senter tempel bertengger di setiap kepala untuk menerangi rute yang harus dilewati.
Jerigen putih bervolume 10 liter menggantung di pinggang yang baunya sudah tak terkira karena tak terjamah air sejak siang. Jangankan mandi, untuk salat pun, mereka harus menyempatkan sedikit waktu.
Sebilah pisau sadap yang lebih mirip arit besar melingkar di kiri pinggang, bersarungkan kayu yang terukir sederhana. Bukit-bukit itu tiap malam akan indah dengan kelap-kelip cahaya senter mirip kunang-kunang di sebuah padang rumput dalam film fantasy anak yang indah.
"Umarrr! Mar ... Mar." Terdengar suara melengking bergema dari bukit sebelah bertabrakan dengan tebing bukit menimbulkan sebuah resonansi indah.
Itulah kebiasaan para pengumpul nira tiap malam. Mereka akan bersahut-sahutan memanggil nama para tetangga penghuni gubuk untuk mengusir rasa takut, dan menghalau kesunyian malam. Nada satire yang menggema itu mewakili kegetiran nasib mereka yang harus bergumul melawan pekat malam demi setetes nira, cairan emas penentu kelangsungan hidup.