Mohon tunggu...
Saseka Pramanca
Saseka Pramanca Mohon Tunggu... profesional -

Saya hanya mencoba berkarya. Melakukan apapun yang saya bisa. Mencoba menulis. Siapakan saya (lelaki*) – jika tidak mencoba menjadikan hidup ini lebih baik. hidupku untuk hidupku dalam hidupku Bagi kawan-kawan yang sudah mau membaca coretan-coretan saya yang jauh dari baik, saya sangat berterimakasih. Sangat diharapkan komentar-komentarnya, saran dan kritik buat saya. Terimakasih. Salam dariku: Daniel Saseka Pramanca

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Doa Orang Mabuk

25 Juli 2012   19:31 Diperbarui: 25 Juni 2015   02:37 232
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Aku ingin berbagi, cerita ini sekitar tahun 2004 silam, dimana aku hanya bersama adik-adikku saja dirumah. Ibuku di Malaysia sebagai TKI dan sudah lama tidak ada kabar, sedangkan Bapakku di Jakarta, kerja di sebuah pabrik furniture sebagai satpam.

Ibuku tidak pernah ada kabar setelah beberapa bulan pergi ke Malaysia, jangankan kirim uang untukku dan adikku di rumah, kabarpun tidak. Sedangkan Bapakku yang di Jakarta hanya bisa kirim uang 300 ribu rupiah setiap bulannya, karena gaji yang sudah dipotong akibat kasbon senilai 1 juta rupiah untuk keperluan lalu, saat menebus biaya sekolah adik-adikku. Hal ini menjadikan kami kesulitan dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Aku sendiri baru lulus SMA tahun 2003. Adiku yang kedua, Tia, kelas 2 SMA. Adikku ketiga, Anca, kelas 2 SMP. Adikku keempat, Pata, kelas 1 SD.

Dari kiriman Bapakku yang sedikit untuk hidup sehari-hari, membuatku akhirnya terjun kejalanan semenjak lulus SMA, dari parkir motor sampai ngamen, bahkan kadang jadi kernet bila kondektur pas sendirian tanpa kernetnya. Apalagi melihat ketiga adikku yang masih sangat perlunya uang untuk sekolah dan makan sehari-hari. Biasanya, uang 300 ribu rupiah dari Bapak, masih kurang untuk pembayaran uang bulanan sekolah, listrik, iuran-iuran RT, dan lain-lainnya.

Suatu hari, sepulang dari ngamen, adikku Tia bilang padaku bahwa, besok harus ada uang paling tidak 50 ribu, yaitu untuk iuran RT dan pembayaran uang sekolah yang harus dibayar, dikarenakan salah satu syarat untuk mengikuti ulangan umum. Sebenarnya bukan uang yang banyak, tetapi melihat sudah habisnya uang dari kiriman Bapak, merupakan satu hal yang sangat berat bagiku. Sejenak terpikirkan untuk meminjam uang kepada tetangga atau teman, tetapi sepertinya tidak mungkin, karena buat saya pribadi, hanya akan menambah beban lagi, dimana sudah banyak beban yang harus aku pikirkan.

Seperti biasa, semenjak aku hidup di jalanan, setiap pulang aku selalu membawa paling sedikit setengah liter ciu (minuman alkohol buatan lokal daerah Banyumas) yang biasa aku beli di Sokaraja, dengan harga satu liternya 6 ribu rupiah, bisa dibeli setengah liter dengan 3 ribu rupiah. Aku minum sendirian, setelah adik-adikku sudah tidur, atau bersama teman-teman di sekitar rumahku jika ada yang mampir. Mabukku masih tertembus juga oleh beban baru tadi. Paling tidak harus ada 50 ribu rupiah untuk besok. Antara mabuk dan doa, aku masih berharap Tuhan mendengar doa orang mabuk ini.

“Tuhan semoga saja, besok kau berikan apa yang kami perlukan. Amin.”

Pagi menjelang, aku bangun jam 8 pagi, dan tak kutemui satupun adik-adikku di rumah, karena ketiganya sudah berangkat ke sekolah masing-masing. Aku mandi, memakai baju kemarin, dan menyiapkan gitarku, lalu pergi tanpa mengurusi rumah.

Aku pergi ke Buntu langsung dengan naik bus kecil dari Kroya, tapi kali ini pikiranku lain. Dari ngamen di bus, trayek Purwokerto – Buntu – Gombong, paling-paling cuma dapat uang sekitar 30 ribuan, itupun jika beruntung. Aku berpikir untuk ke kampung-kampung pemukiman penduduk, dari rumah-kerumah. Akhirnya dari Buntu aku langsung menuju Banyumas, target pertamaku.

Aku susuri rumah demi rumah, di perkampungan belakang pasar Banyumas ke arah barat, sampai sekitar 3 kilometer ke arah barat, sampai terasa sudah jarang ada pemukiman lagi, dan berbalik ke daerah pasar dengan jalan yang berbeda supaya bisa ngamen dari rumah ke rumah lagi. Sampai pasar Banyumas lagi sekitar jam 2 siang. Aku sempatkan makan di sebuah warung makan di emperan jalan.

Selesai makan aku lanjutkan naik bus lagi, yaitu ke arah Sumpyuh dengan estafet, turun di Buntu, dan lanjutkan ke arah Sumpyuh dengan bus yang berbeda. Tentunya hal ini kulakukan karena di bus pun aku ngamen, yang merupakan bus besar trayek Purwokerto – Jogja – Solo.

Sesampainya di Sumpyuh aku langsung menuju daerah pemukiman di sebelah utara pasar Sumpyuh, masuki gang-gang kecil, kusikat habis rumah demi rumah tanpa tersisa, kecuali rumah yang memang sedang kosong. Badan letih tidak kuhiraukan, mengingat beban yang seolah jadi target perolehanku hari itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun