Tulisan ini dilatarbelakangi oleh keluhan beberapa teman serta orang tua terhadap anak-anak remaja zaman sekarang. Seorang ibu menceritakan tentang anaknya yang enggan membantu pekerjaan rumah, bahkan untuk hal yang sepele, seperti mencuci bajunya sendiri, menyapu, atau memasak. Ia menilai anaknya terlalu malas. Kamarnya berantakan dan kotor.
Seorang teman menceritakan keponakannya yang mau kuliah di luar kota dan mau menumpang sebentar dirumahnya. Ia menilai keponakannya itu orangnya sangat manja. Ia belum pernah pergi jauh dari kotanya sendirian, sehingga ia menjadi terlalu “heboh” ketika mau pergi ke luar kota. Tidak hanya anaknya yang heboh, nampak ibunya juga ikut-ikutan heboh.
Kemanjaan itu juga terlihat dari ketidakmampuan subjek untuk memutuskan dan menyelesaikan soal-soal kecil, misalnya soal cari bus, makan, serta belajar. Ia masih sangat tergantung dengan orang lain. Kebiasaanya juga hanya tidur-tiduran dan menghabiskan waktu untuk ngegame dan main handphone.
Teman saya yang lain cerita tentang adiknya yang supermanja. Tingkatnya menurut dia sudah terlalu parah. Sampai untuk hal yang sederhana, seperti merapikan baju atau minum madu saja ia harus dibantu. Padahal dia sudah masuk bangku kuliah. Teman saya yang orang psikologi ini mengaku sangat kerepotan menghadapinya. Sampai ia kehabisan akal untuk menghadapinya.
Beberapa waktu yang lalu ketika saya mengantar tetangga saya tes disebuah perguruan tinggi negeri di kota saya, saya juga bertemu dan mengobrol dengan ibu-ibu yang juga mengantarkan anaknya. Meskipun mereka tidak secara ekplisit menceritakan kemanjaan anaknya, namun tampak bahwa ia juga menunjukkan betapa anaknya yang sudah siap jadi mahasiswa, juga masih tergantung dengan orang tua. Bahkan untuk menyelesaikan soal-soal kecil.
Saya belum menemukan kajian yang komprehensif mengenai anak-anak manja semacam itu. Namun terlihat remaja-remaja dengan karakteristik demikian sedang ngetren akhir-akhir ini. Barangkali ia akan menjadi booming dalam beberapa tahun ke depan.
Dua teman saya berspekulasi, kemanjaan tersebut tumbuh dan dipupuk oleh pola asuh yang diterapkan oleh orang tua. Namun, teman saya yang sudah mengalami jadi orang tua tidak mau mengakui klaim semacam itu. Bahwa ia telah menerapkan pola asuh yang salah. Ia merasa sudah mendidik anaknya sedemikian rupa supaya ia tidak manja. Bahkan dalam beberapa hal ia sudah mendidik dengan keras. Meski demikian, anaknya juga tidak berubah dengan pola asuh yang demikian.
Kalau dibandingkan dengan zaman dulu, zaman ketika hidup harus dijalani tidak semudah sekarang, banyak orang ternyata bisa tumbuh sebagai pribadi yang liat dan kuat menghadapi hidup. Contohnya, ibu saya sudah harus bekerja sejak kecil. Ia bercerita saat masih kanak-kanak ia harus membantu menghidupi adik-adiknya yang lima orang. Dia sempat sekolah sampai kelas lima, namun harus putus di tengah jalan karena setiap lima hari, setiap pasaran wage dan pahing, ia harus ikut jualan daun jati dengan nenek ke pasar yang jauhnya hampir tujuh kilometer. Dan itu harus ditempuh dengan jalan kaki.
Di luar itu, ia juga sering dimarahi oleh nenek. Apalagi kalau dia sedang pulang sekolah, karena nenek sebenarnya tidak mengijinkan ibu saya sekolah. Sehingga kadang ia tidak berani pulang dan tinggal di tempat tetangga juga makan di sana. Kalau pulang kadang juga tidak di kasih jatah makan. Kalau sedang mengasuh adiknya yang banyak, saking capeknya, kadang ibu saya harus menggendong adeknya sambil menelungkup. Itu hanya sebagian kecil pengalaman pahit yang belia alami.
Melihat pengalaman ibu saya itu, terihat kontras yang begitu nyata antara generasi sekarang dengan generasi zaman dulu. Kesulitan hidup telah menempa seseorang menjadi liat, kuat, dan mandiri. Kemandirian dan keliatan ibu saya itu nampak sampai sekarang. Pada usianya yang sudah sepuh, ia tidak mau berhenti bekerja dan berleha-leha. Di sisi lain, zaman yang memanjakan manusia dengan kemudahan telah memenjarakan orang, sehingga mereka tumbuh menjadi pribadi yang lemah dan rapuh.
Saya belum bisa menemukan benang merah antara kemandirian anak zaman sekarang dan orang-orang zaman dulu itu. Tetapi, nampak setiap zaman melahirkan anak-anaknya sendiri dengan karakter dan kepribadian yang khas. Yang menjadi persoalan, ketika zamanmelahirkan pribadi-pribadi yang tidak mandiri, tergantung, dan tidak dapat menyelesaikan soal-soal kecil, tentu perlu ada pensikapan khusus dari kita semua agar anak-anak zaman ini tidak menjadi beban di kemudian hari.
Yogyakarta, 9 September 2013.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H