Mohon tunggu...
Sartana -
Sartana - Mohon Tunggu... wiraswasta -

Saya tertarik dengan kajian tentang dampak perkembangan tekhnologi terhadap perilaku (cyberpsychology), diri dan identitas, metode penelitian serta Psikologi Budaya.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Rindu Kematian

13 September 2013   17:28 Diperbarui: 24 Juni 2015   07:56 121
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Bagi banyak orang, berkenalan dengan sahabat saya yang satu ini barangkali bukan peristiwa luar biasa. Kalah jauh rasanya dengan ketika ia bertemu dengan artis sinetron atau pemain sepak bola. Bahkan seandainya artis itu baru main sinetron ecek-ecek atau athlet itu baru main di klub sepak bola kelas gurem.

Penampilannya jauh dari sosok yang memiliki keistimewaan. Wajahnya tidak ganteng, posturnya tidak tinggi atau gagah, dan baju yang ia kenakan jauh di bawah ukuran sederhana. Belum lagi rambutnya yang lebih sering acak-acakan daripada rapi tersisir.

Pastinya, dia bukan tipe cowok ideal untuk banyak wanita. Apalagi untuk mereka wanita yang tajir dan cantik. Untuk melirik ke wajah teman saya itu, mungkin mereka perlu berfikir sepuluh atau mungkin seratus kali. Kecuali karena kecelakaan, misalnya saat berpapasan atau kebetulan memang karena posisi tempat duduknya memaksa mereka untuk saling berhadapan.

Saya tidak tahu, azab apa yang sedang ditanggung teman saya ini, sehingga dia lahir ke dunia dalam timpukan kekurangan dan ketidaksempurnaan yang berlapis-lapis. Mungkin ada perjanjian antara nenek moyangnya dengan jin, setan atau iblis. Tapi saya tidak tahu tentang itu.

Dengan potongan yang pas-pasan, postur tubuh yang tidak ideal, penampilan yang jauh dari menarik, teman saya ini juga seorang pendiam yang mudah cemas ketika berbicara dengan orang. Mungkin dia sedang mengidap phobia sosial akut, yang sudah lama tidak pernah ada intervensi.

Dengan keburukan yang hampir sempurna itu, sebenarnya tidak ada alasan bagi dia untuk melanjutkan hidup. Akan lebih baik dan menyenangkan mungkin baginya andai bisa cepat mati dan dikubur. Karena itu artinya, tidak ada lagi beban yang mesti dia tanggung.

Namun, saya kurang tahu persis, mengapa dia masih saja merelakan diri untuk melanjutkan hidup. Tidak memilih untuk membeli obat serangga atau tali tambang dengan uangnya yang tidak seberapa, lalu bunuh diri.

Bukankah dengan mengakhiri hidup persoalan menjadi selesai? Bukankah dengan mati manusia terbebas dari rasa keterasingan sepanjang waktu yang menyakitkan itu? Bukankah dengan mati manusia tidak lagi harus risau untuk mencari arti tujuan Tuhan melahirkan mereka ke dunia ini? Bukankah dengan mati keinginan kita untuk menjadi abadi, untuk membangun sejarah, untuk mencapai kejayaan itu juga akan sirna?

Dan khusus bagi teman saya, bukankah dengan mati penderitaannya sebagai akibat dari banyak kekurangan pada fisik, penampilan, dan pengakuan psikisnya akan selesai?

Sekali lagi, sungguh saya tidak bisa memahami cara berfikirnya. Di tengah kepungan realitas yang seharusnya ia memilih untuk mati itu, ia malah sibuk menulis dan membaca. Dia sangka dengan membaca, lalu mengetahui banyak hal, dia dapat menjawab beragam persoalan hidupnya. Padahal, semakin ia banyak tahu, semakin ia pandai menipu diri dengan logika dan wawasannya. Semakin ia jauh dari realitas dan jawaban pertanyaan hidupnya.

Atau ia membaca dan menulis bukan untuk tujuan itu. Membaca dan menulis baginya hanya menjadi cara untuk mensahabati rasa sepi yang laknat. Ia hanya semacam pelarian dari ketidakmampuannya untuk bersosialisasi dan menyambungkan diri dengan dunia manusia yang normal.

Ia adalah semacam ikhtiar untuknya untuk mengisi waktu sambil menjemput maut. Karena dima-diam ia tahu bahwa hidup yang ia jalani sebenarnya adalah perjalanan kesia-siaan. Sehingga baginya, tidak ada hal yang perlu ia perjuangkan sangat dari hidupnya. Seperti halnya membaca dan menulis. Ia tahu semuanya itu tidak berguna.

Namun apa lagi yang bisa ia lakukan. Adalah tidak mungkin ia mengimpikan yang lebih baik dari kesia-siaan. Juga selain belajar dan terus belajar menikmati penolakan dan pembuangan. Sangat tidak mungkin baginya untuk memupuk harapan akan ada orang lain yang akan mengguyur hatinya denga cinta yang tulus di zaman yang penampilan menjadi raja yang di sembah ini.

Tidak mungkin juga ia bermimpi perhatian, kepedulian, kasih sayang, dan entah apa itu namanya dari orang di tengah zaman yang memuja kecantikan dan kegagahan, kekayaan dan kejayaan, kekuasaan dan kekuatan. Ya, tidak mungkin ada pintu terbuka baginya untuk melompat dari dunianya gelapnya yang sekarang.

Sehingga, mungkin dia pikir, satu-satunya yang ia bisa ia harap dalam hidupnya, yang akan menolong, yang akan menjadi juru selamat, yang akan mengakhiri perjalanan yang membosankan itu, adalah uluran tang penuh kasih dari  maut yang akan datang merenggut hidupnya.

Meskipun ia tidak bunuh diri, siang dan malam ia berharap, telinganya selalu rindu pada derap langkah halus sang maut yang akan menyentuh lantai rumahnya. Lalu, perlahan ia mengetuk pintu kamarnya. Seperti seorang remaja yang menyambut sang kekasih, begitulah ia akan menyambut kedatangan wajah sang maut itu.

Setelah sekian lama berjalan pada lorong kosong yang begitu panjang. Berhadapan satu kesia-siaan dan kesia-siaan yang lain, akhirnya semua berakhir. Ketika harapan pada kehidupan sudah habis, dan kematian adalah perjalanan lebih lanjut dari kehidupan, maka bila dalam hidup ini sudah tidak lagi yang berarti, mungkin di alam kematian ketidakbermaknaan hidup ini menjadi bermakna.

Ya, mungkin kesimpulanku kali ini tentang temanku yang aneh itu tidak keliru. Dalam diam yang panjang, dalam kepasrahan yang hampir total, dalam ketidakpeduliannya bahkan pada ketidakpedulian, tersimpan cinta dan rindu yang abadi, yang sempurna : Kerinduan pada maut yang menjemput.

Jogjakarta, 12 September 2013

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun