Mohon tunggu...
Sartana -
Sartana - Mohon Tunggu... wiraswasta -

Saya tertarik dengan kajian tentang dampak perkembangan tekhnologi terhadap perilaku (cyberpsychology), diri dan identitas, metode penelitian serta Psikologi Budaya.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Vicky : Sebuah Mimikri yang Gagal

16 September 2013   16:00 Diperbarui: 24 Juni 2015   07:48 122
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Melihat Vicky, kita seperti sedang melihat wajah kita sendiri. Melihat kekacauan cara kita berfikir. Ketidakotentikan kita dalam berperilaku. Juga aneka hasrat terpendam yang tidak mudah untuk kita kuliti satu persatu. Persoalannya, Vicky sedang tampil pada panggung berbeda dengan panggung di mana sekarang kita sedang menampilkan diri.

Sebagian kita sedang tampil di panggung politik; sebagian sedang memerankan diri di panggung pendidikan, sementara sebagian kita yang lain sedang tampil di panggung kebudayaan, dan atau panggung-panggung lainnya. Kita menjadi Vicky yang lain ketika menjadi orang yang gagal menyambungkan antara yang hal kita omongkan dengan realitas yang diwakili oleh omongan itu.

Kita menjadi Vicky ketika kita menjadi orang yang berbicara mengenai sesuatu yang tidak kita mengerti atau tidak kita lakukan. Setidaknya tidak jarang nurani kita membisikan penilaian demikian, entah lirih entah keras. Ketika kita bertemu atau mendengar omongan dari beberapa orang baik di media maya maupun nyata; baik ia yang kita anggap sebagai seorang tokoh atau orang biasa; dia yang kita akui sebagai ahli atau awam. Dan mungkin orang-orang sekitar kita juga dibisiki oleh nuraninya tentang hal serupa ketika mereka mendengarkan omongan kita.

Beberapa orang dari kita kadang sangat fasih, rapi, dan sistematis dalam menyusun kata. Setidaknya dapat membuat orang lain terpesona. Seperti komentator sepak bola ketika berbicara sepak bola. Namun, substansi kata yang kita utarakan bukanlah kata itu sendiri. Substansi sebuah omongan bukan omongan. Kata dan omongan hanyalah wakil dari substansi yang sesungguhnya. Realitas lah substansi itu.

Dengan demikian, integritas merupakan hal yang paling inti dari sebuah proses komunikasi. Soal kesesuaian antara hal yang diomongkan dan hal yang dimengerti atau dilakukan seseorang. Kerapihan dan sistematika kata adalah soal tekhnis berbahasa. Kadang orang masih bisa memaklumi kekurangan pada tataran ini, karena orang masih menangkap pesan orang lain sejauh mereka menyampaikan pesan dengan penuh kejujuran. Bahkan dengan saling diam pun orang bisa bisa berkomunikasi, karena seseorang bisa berbicara dengan frekuensi bahasa hati.

Namun,  tekhnologi informasi telah merubah standar kualitas komunikasi yang kita lakukan. Karena pengujian terhadap tingkat integritas seseorang menjadi lebih sulit untuk divalidasi. Jarak yang jauh tidak  mungkin bagi seseorang untuk memverifikasi. Seperti halnya ketika orang memajang foto atau memposting kata-kata di media jejaring sosial, apa yang kita imajinasikan tentang mereka seringkali berbeda dengan yang senyatanya.

Peradaban media massa telah menyeret orang pada pemahaman eksistensi bahwa “aku berkata maka aku ada”. Sehingga karenanya, dunia berubah menjadi lautan kata-kata yang tumpah. Orang melihat kualitas orang lain dari apa yang dikatakan, lepas dari pengertian yang ia pahami, tindakan yang mendukung, hasrat yang ingin dicapai.

Di sisi lain, orang juga terdorong dan berusaha mengimbangi tuntutan demikian dengan belajar berkata. Belajar merayu, belajar membujuk, belajar beretorika, belajar menalar, dengan menyandarkan pada kata-kata belaka. Sehingga kemudian, pencapaian-pencapaian belajar juga tidak lebih dari sekedar pencapaian seseorang untuk mendongkrak kemampuannya untuk berkata-kata.

Kita bisa bilang tidak, tetapi kita sulit menolak fakta bahwa obral kata merupakan sebuah fenomena baru yang sedang kita hidupi hari ini. Termasuk ketika penulis membuat tulisan ini. Orang beramai-ramai membangun citra dirinya di publik dengan rangkaian aneka kata. Bila kita sedikit mau merenungi, ini adalah sebuah lompatan besar peradaban yang saya yakin, ia juga akan membawa perubahan besar pada cara kita menjadi manusia.

Dan Vicky ketika di depan kamera juga berusaha untuk bermimikri, tampil sebagai dirinya yang lain sesuai dengan tuntutan lingkungan dunia entertainmen yang barangkali tidak pernah ia jamah sebelumnya. Sayangnya, kemampuan dia untuk bermimikri dengan bahasa yang dimiliki belum sempurna. Ibarat dia bunglon, kemampuan untuk merubah warnanya masing nanggung. Di tengah lingkungan yang mestinya hijau, kulitnya masih terlihat semburat kuning. Ia menjadi albino, sehingga ia menarik perhatian orang. Ketahuan belangnya dan menjadi bahan tertawaan.

Jogja, 12 September 2013

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun