Rinai hujan terdengar gemerisik, menitik diatap rumah nan kuhuni. Semilir bayu kelana menepis wajahku, nan terkapar diatas kasur yang sudah tak empuk lagi. Sesayup sampai terdengar melodi, atau rintihan Sang Malaikat Maut nan menyapa, nun gonggongan anjing terdengar pilu, dan jarum jam pun berdetak seirama denyut jantungku. Aku terkesima...
Lantunan tahlil berkumandang... kalimat Tauhid menggelegar, dan surah yaasiin mengalir cepat, seirama aliran sungai Batang Merao. Aku masih termangu, menunggu derap langkah nan mulai mendekat, tak lama tercium olehku, aroma dupa nan menyesakkan sukma. Kesadaran mulai menjauh, satu titik didalam kegelapan, alunan tahlil dan pengajian mulai menjauh, mata melotot mulut ternganga, tubuh mengejang dalam sakratul maut, aku tertawa tapi tak nyata...
Semakin dekat sukma melayang, menuju setitik cahaya dalam kegelapan, aku tersenyum namun tak nyata, panca indra tak terasa, jasad tinggal entah dimana, nan kurasa, nan ku semai, nan kubawa mengusik gendang telinga, sebuah alunan sepi beraroma melati, tembang kematian nan terdengar bagai suara petir...
gelap... punah... aku dimana?
sunyi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H