Dalam kamus Bahasa Indonesia, kata Dokter berarti “Lulusan pendidikan kedokteran yang ahli dalam hal penyakit dan pengobatannya”. Ini berarti bahwa seorang yang disebut Dokter dan bertugas mengobati serta memeriksa penyakit ialah orang yang telah lulus menempun pendidikan kedokteran.
Maka tidak bisa dilakukan pemilihan melalui voting suara oleh para penduduk untuk menentukan seorang dokter yang ahli dalam bidang penyakit dan pengobatannya. Karena dokter haruslah seorang yang lulus pendidikan kedokteran.
Artinya memang, dia menjadi dokter karena memang keahlian dan profesionalitas-nya. Dan profesionalitas serta keahlian itu didapat dari pendidikan, bukan pemilihan atau juga penunjukan masyarakat. Kalau jadi dokter hasil pemilihan, yang ada hanya mal praktek dan kematian dimana-mana.
Sama juga seperti PILOT yang mengendarai Pesawat terbang kesan kemari. Mereka menjadi pilot itu berdasarkan keahlian yang mereka dapatkan dari pendidikan penerbangan yang tidak sebentar. Setelah menjalani deretan tutorial dan melalui serangkain tes penerbangan, barulah mereka resmi menjadi PILOT dengan sertifikat yang sah.
Kalau saja mereka menjadi pilot itu karena pemilihan, pastilah penerbangan akan amburadul dan pasti tidak ada keamanan yang terjamin dalam tranportasi udara.
Dan begitu semuanya. Semua bidang dalam kehidupan ini harus lah diurus dan dikenadalikan oleh orang yang memang menguasai dan ahli dalam bidang tersebut. Keahlian dalam suatu bidang itu tentu tidak bisa didapat kecuali dari jalan pendidikan yang pasti tidak sebentar.
Karena memang yang menangani itu orang yang expert dan ahli, setiap urusan dalam bidang tersebut pasti berjalan sesuai aturan dan kemungkinan besar pasrti berhasil. Musibahnya kalau suatu perkara diberikan kepada yang bukan ahli, yaa tinggal tunggu aja amburadul-nya.
Anehnya di Indonesia ini, ada bidang “penting” dalam tatanan Negara yang seharusnya diberikan kepada seorang ahli dan expert tapi malah diberikan bebas kepada siapa saja yang mau. Tidak perduli dia menguasai bidang itu atau tidak. Dan lebih parah lagi, “Proses Asal-Asalan” ini direstui oleh Sistem Negara dan dilindungi oleh Undang-udang.
Ya. LEGISLATIF.
Dalam kamus Bahasa Indonesia, Legislatif berarti; “Dewan/sekumpulan orang yang berwenang membuat undang-undang”. Kegiatan membuat undang-undang itu disebut “Legislasi”. Dan orang yang membuat undang-undang disebut “Legislator”.
Nah. Karena ini memang pekerjaan undang-undang Negara, dan pastinya posisi ini bukanlah posisi yang ecek-ecek alias main-main, maka haruslah dikerjakan oleh orang yang memang mumpuni dalam bidangnya itu. Mereka haruslah orang yang mengerti serta ahli tentang perundang-perundangan dan hukum. Dan keahlian itu semua tidak bisa didapatkan kecuali melalui jenjang pendidikan sekolah atau kuliah “Hukum”.
Tapi anehnya, posisi krusial ini justru ditempati oleh orang dengan status bebas. Siapapun itu bisa mendapatkan posisi “Penting” ini asalkan punya “uang” dan banyak “suara” yang memilihnya untuk menempati posisi “suci” ini, tentu mendapatkan suara juga harus dengan “uang”. Makin aneh lagi, karena Negara ini melegalkan itu semua.
Jadi ya wajar saja kalau hukum di Negera Indonesia tercinta ini amburadul dan aut-autan. Toh memang didesaign oleh mereka yang sama sekali tidak mumpuni dan tidak mengerti dalam bidang hukum serta undang-undang. Malah banyak undang-undang yang dihasilkan justru menyalahi undang-undang sebelumnya yang sudah ada, saling bertabrakan.
Bagaimana bisa, orang yang biasa nyanyi dan melawak diatas panggung hiburan, tiba-tiba dengan mudahnya ia merancang sebuah hukum Negara?
Nah, jadi tahu kan kenapa sebabnya hukum dan undang-undang di Negara ini agak gimanaaaaa gitu. Ya jelas saja, selama undang-undang dan hukum di Negara ini dibentuk dan didesign oleh mereka yang tidak tahu menahu soal hukum, maka jadinya yaaaa gitu dech.
Baiknya memang, Mahasiswa-Mahasiswa Fakultas hukum beserta Sarjan-Sarjana-nya itu lah yang diberdayakan untuk menjadi orang-orang ahli dalam mendesign hukum di negeri ini, karena memang mereka itu yang mampu. Kalau Legislatif dijual bebas seperti itu, ya jelas banyak kerugian pastinya; Hukum makin ngga nyambung, pun banyak Sarjana-Sarjana hukum yang jadi korban hukum itu sendiri, karena banyak ilmu hukum yang akhirnya tidak manfaat.
Kenapa sih kita tidak pilih saja orang yang memang ahli dan mumpuni serta expert dalam hal perundang-undangan yang sama sekali independen dan tidak membawa kepentingan busuk partai-partai mereka ke rahan parlemen yang akhirnya membuat rakyat dan Negara ini semakin terpuruk.
Berapa sih besarnya dana yang harus dikeluarkan untuk membangun generasi hukum dan memberdayakannya? Toh kita sudah mempunyai fakultas-fakultas hukum di hampir seluruh Universitas saentero Nusantara ini. Dibanding kita terus membuang uang dengan jumlah yang WUAHH besar hanya untuk memilih orang yang sama sekali tidak kompeten untuk mengatur undang-undang? Kenapa?
This is Indonesia! Aneh kan? hehe
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H