Orang Indonesia terkenal dengan adat ketimurannya yang selalu mengedepankan “perasaan” sebagai pengukur dan penimbang hampir segala hal. “jago” dalam perasaan ini juga yang membuat kebanyakan orang Indonesia ini menjadi mudah berempati dan bersimpati.
Semuanya diukur dengan perasaan, akhirnya selalu merasa “ngga enak hati” jika dihadapkan kepada persoalan yang menyangkut “perasaan” orang lain, sehingga mudah mengalah, dan itu yang special bagi orang Indonesia. Karena tidak ada bangsa yang perasaannya sehebat perasaan orang Indonesia.
Coba saja lihat kejadian-kejadian social yang sering banyak kita lihat. Contoh paling dekat itu yaa masalah Prita yang merasa ditipu oleh pihak rumah sakit. Dengan segenap perasaan seluruh orang Indonesia mendukungnya dan berhasil mengumpulkan dana sumbangan yang mencapai puluhan juta hanya dalam waktu kurang dari seminggu.
Jangankan orang seperti Prita yang memang terdzolimi, Angelina Sondakh yang tersangka kasus Korupsi itu pun banyak mendapat empati dan simpati oleh orang diseluruh negeri ini. Media yang terlalu mengekspos dan menampilkannya sebagai sosok wanita dan ibu penyanyang bagi anak-anak, berhasil membuat penonton berkeluh dada, “kasian ya, dia kan perempuan, dia kan punya anak, jangan dihukum berat-berat dong”. Tanpa melihat padahal banyak kerusakan yang ditimbulkan oleh praktek korupsi yang dilakukan oleh putri Indonesia ini beserta konco-konconya.
“Jago” perasaan ini juga yang membuat bangsa Indonesia menjadi bangsa yang paling “vocal” untuk menolong saudara Muslim di Palestina, dan mendukung pembebasan Negara tersebut. Ramadhan kemarin saya pernah menjadi penerjemah seorang Dokter palestina yang berkunjung ke negeri ini untuk memberikan testimony. Dan beliau mengakui bahwa Indonesia adalah Negara yang paling vocal soal membela Palestina, dan nyata aksinya. Dibanding Negara-negara tetangga Palestina yang juga Negara Islam yang seakan tutup mata tutup telinga, Indonesia jauh diatas mereka semua.
Tapi buruknya, sikap “jago” main perasaan ini juga terbawa dalam perkara-perkara syariah. Padahal syariah itu tidak dibangun atas “perasaan”, tapi syariah ini berdasarkan dali-dalil syar’I baik itu dari Al-quran atau Sunnah Nabi saw. Yang halal jelas dan yang haram juga jelas. Perasaan tidak bisa menghalalkan yang haram dan juga tidak bisa mengharamkan yang halal.
Perasaan “tidak enak” bisa membuat sholat berjamaah menjadi rusak dan tidak sah. Karena tidak enak hati, sang qori yang cantik tartilnya, faham fiqihnya malu untuk jadi Imam karena ada orang tua, padahal rusak bacaannya, dan awam fiqihnya. “Tidak Ada BASA BASI Dalam Syariah” begitu kata para Ulama.
Perasaan “Tidak Enak” membuat satu keluarga bermaksiat dengan menggugurkan hak waris eorang anak yang diambil paksa oleh pamannya (kakak si mayyit), si anak “engga enak” kalo harus meminta jatahnya. Padahal syariatnya saudara-saudari mayyit tidak mendapat jatah waris (terhijab) Karena adanya anak si mayyit. “yawudah, yang penting sama-sama ridho, bagiin-nya sama rata aja”. Hadeuuh! Tidak ada yang melarang pembagian waris dengan takaran sama dan rata, TAPI sebelum pembagian “sama-sama ridho” itu, semua Ahli Waris TAHU BERAPA BAGIANNYA YANG SAH DALAM SYARIAT, setelah itu diminta keridhoannya. Kalau ridho dikurangin ya ambil tapi kalau tidak ridho, justru yang memaksa itu berdosa karena menghalangi seseorang menunaikan perintah Allah swt.
Dan karena “perasaan” kesal kepada Anaknya, akhirnya sang ayah menulis wasiat untuk tidak memberikan kepada anak yang di-kesali-nya tersebut jatah warisan sepeserpun. Ya jelas tidak bisa begitu, ini bertentangan dengan syariat.
Jadi yang pasti bahwa syariat ini tidak berdasarkan “perasaan” pelaku, suka sama suka, sama-sama ridho, kesal dan dendam sama sekali tidak bisa menjadi dasar hokum sebuah syariat. Akan tetapi syariat ini telah jelas aturannya dan pakem-pakem melalui wahyu yang turun kepada Nabi saw dan juga Hadist-hadits yang beliau sampaikan dan akhirnya sampai kepada kita sekarang.
Apa yang tidak ter- manshush (tidak ada teks Syar’i) itu menjadi lapangan “Ijtihad” bagi para Ulama. Ulama yang mumpuni dan memang layak untuk ber-ijtihad tentunya. Dan ijtihad mereka semua tidak berdasarkan “perasaan”, tapi berdasarkan kaidah-kaidah yang telah dirumuskan dari Al-quran dan Sunnah Nabi saw juga, semuanya terangkum dalam Ilmu ushul-Fiqh.
Jadi sama sekali, perasaan tidak bisa menjadi landasan hukum atas perkara-perakara syariah.
Riba telah jelas keharamannya, berkali-kali Al-Quran melarangnya. Tapi “ane kan ridho bayar hutang lebih ke rentenir”. PSK yang berzina dengan lelaki hidung belang itu juga atas dasar “mau sama mau”, “suka sama suka”, “ridho sama Ridho”, apa karena begitu Perzinahan menjadi halal??
“Keridhoan Tidak Bisa Menghalalkan yang Haram”. “Kebencian Tidak Bisa Mengharamkan yang Halal”.
Wallahu A’lam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H