Mohon tunggu...
Muhammad Zaqi Al Zamani
Muhammad Zaqi Al Zamani Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Mahasiswa

a

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Dikotomi dan Dualisme pada Lembaga Pendidikan Masa Kolonialisme

11 Agustus 2021   20:21 Diperbarui: 11 Agustus 2021   20:29 1912
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Pada pilihan sekolah di Indonesia, kita sudah mengenal tentang dua jenis lembaga pendidikan bahkan lebih yang berada di negara kita. Seperti sekolah negeri yang di kelola oleh pemerintah dan juga sekolah Islam seperti madrasah atau pondok pesantren yang merupakan lembaga swasta yang di kelola oleh kelompok atau yayasan.  Apa yang baru saja penulis berikan contoh merupakan bentuk dari dikotomi atau dualisme yang ada pada lembaga pendidikan kita. Sebelum lebih lanjut, ada baiknya kita mengetahui apa itu dualisme dan dikotomi.

Dikotomi dalam KBBI dijelaskan sebagai pembagian atas dua kelompok yang saling bertentangan, sedangkan dalam bahasa inggris Dichotomy merupakan pembagian dua bagian, pembelahan dua, bercabang dua. Dalam sejarah Indonesia sendiri dikotomi bisa diartikan sebagai sesuatu yang tidak sejalan seperti pendidikan agama dan pendidikan umum dalam pemisahan ilmu agama dan ilmu umum.

Sedangkan dualisme adalah gabungan atas dua kata, yaitu "Dualis" atau "Duo" dan "ismus" atau "isme". Kata "Duo" berarti dua. Sedangkan "Ismus" berarti pembentukan nama untuk kata kerja. Secara terminologi Dualisme ialah merupakan dua prinsip atau paham yang saling bertentangan. Jad, dualisme bisa di katakan sebagai keadaan yang menjadi dua, dan ia adalah suatu sistem dan teori yang berdasarkan dua prinsip yang memiliki dua substansi (Kurniyat, 2018).

Dalam perkembangan pendidikan di Indonesia sendiri, dikotomi dan dualisme pendidikan bisa di lihat sejak awal abad ke-20 di mana muncul kebijakan politik etis yang mempengaruhi pendidikan di bumi nusantara. Kebijakan tersebut menekankan pembangunan pendidikan dala event untuk membalas budi apa yang sudah dikerjakan oleh masyarakat pribumi pada masa kebijakan tanam paksa.

Pada masa itu, pendidikan yang di kelola oleh pemerintah Hindia Belanda menekankan pendidikan umum atau formal yang lulusannya di harapkan akan menjadi tenaga kerja murah untuk pemerintahan. 

Tetapi, pada kurikulum atau gaya belajarnya mereka menekankan untuk berkiblat pada pendidikan barat dari pada timur. Dalam kebijakan tersebut secara tidak langsung bertujuan untuk mengikis atau menghilangkan kebiasaan agam Islam di mulai dari pendidikan yang tidak menempatkan pembelajaran agama dalam kurikulum mereka.

Pengurangan atau tidak ikut sertaan ilmu agama Islam pada pendidikan yang di kelola pemerintah ternyata memiliki latar belakang yang jelas, pemerintah belanda menganggap para Kyai dan guru agama merupakan dalang pembuat kerusuhan. Lebih dari itu mereka di anggap sebagai ancaman yang memungkinkan akan membuat semangat perjuangan rakyat dalam melawan pemerintahan kolonial (Istikomah, 2017). Dalam kasus ini, kita bisa melihat pada peristiwa yang terjadi di Banten, yaitu Pemberontakan petani Banten tahun 1888.

Untuk pendidikan Islam sendiri, pada masa tersebut mereka cukup di rumitkan dengan adanya kebijakan politik etis tersebut. Karna pada masa tersebut timbul kebijakan Ordonansi guru pada Staadsblaad 1905 No. 550 yang berisi kewajiban pada setiap penyelenggara pendidikan Islam untuk wajib memperoleh izin tertulis dengan izin dari bupati atau penjabat yang memiliki kedudukan setara (Dahlan, 2020). Kebijakan ini di percayai untuk mengatur dan mengawasi keberlangsungan pendidikan Islam di wilayah tanah Jawa tidak termasuk wilayah kesultanan Yogyakarta dan Surakarta.

Lebih pendek, Pendidikan yang di laksanakan oleh pemerintah belanda merupakan pendidikan umum/formal yang bertujuan untuk mendapatkan lulusan yang di harap menjadi pekerja murah. sedangkan dalam pendidikan Islam layaknya pesantren menjadi tempat belajar para siswa/santri untuk mengemban ilmu agama dengan bantuan Kiayi untuk menjadikan mereka sebagai muslim yang berakhlak baik.

Dahlan, Z. (2020). RESPONS MUHAMMADIYAH DI INDONESIA TERHADAP ORDONANSI GURU AWAL ABAD XX. Journal of Islamic Social Sciences, 1(1), 26--48.

Istikomah. (2017). PELAKSANAAN IBADAH HAJI ABAD KE 19 DAN DAMPAKNYA TERHADAP PERLAWANAN RAKYAT KEPADA KOLONIALISME BELANDA. Jurnal Sejarah Dan Kebudayaan, 5.2. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun