Mohon tunggu...
Arianto Zany Namang
Arianto Zany Namang Mohon Tunggu... Penulis - penulis

menulis untuk mengisi hati

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Melacak Alasan Aktivis Mendukung Prabowo

7 September 2023   19:42 Diperbarui: 7 September 2023   19:54 293
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ketika kita membaca buku "Paradoks Indonesia" (2017) tulisan Prabowo Subianto, kita segera menemukan sebuah gagasan besar di dalamnya untuk kemajuan Indonesia. Gagasan besar tersebut adalah upaya untuk menciptakan "Indonesia yang sejahtera" sebagaimana dicitakan oleh UUD 1945 terutama yang termaktub dalam pasal 33 ayat 3.

Namun, dalam pelbagai kesempatan, Prabowo selalu mengungkapkan untuk mewujudkan kesejahteraan bagi bangsa Indonesia diperlukan suatu syarat kemungkinan yang harus lebih dahulu dipenuhi yaitu persatuan Indonesia.

Persatuan adalah kata kunci penting bagi Indonesia maju. Tanpa persatuan mustahil kesejahteraan bakal terwujud. Dalam terang ini, saya kira dapat kita pahami kenapa Prabowo bergabung dengan pemerintahan Jokowi-Amin pada 2019 silam.

Ia mengebawahkan seluruh ego dan  kepentingan politiknya dengan bergabung pada pemerintahan Jokowi. Hal itu semata-mata karena hanya persatuan di kalangan elit yang dapat menjadi teladan bagi masyarakat di bawah untuk bersatu; dengan adanya persatuan tersebut lebih mudah untuk mewujudkan kesejahteraan bersama.

Dalam terang yang sama pula, dapat kita periksa alasan para aktivis sekaliber Budiman Sudjatmiko dan Immanuel Ebenezer, serta Agustinus Poltak Sinaga, untuk menyebut beberapa nama, dengan kebebasan dan kesadaran, memilih mendukung dan bergabung dengan Prabowo.

Saya melihat mereka memilih bergabung dengan Prabowo karena Prabowo membawa narasi "persatuan" dan "kesejahteraan" bagi seluruh tumpah darah Indonesia. Maka, dalam setiap ucapan mereka di ruang publik hanyalah tentang bagaimana mewujudkan narasi besar tersebut ke dalam program dan tindakan praktis.

Itu juga yang membuat mereka seperti tidak ada waktu dan kesempatan untuk terlibat dalam politik penuh kebencian yang kerap dimainkan oleh kubu lawan. Mereka terlalu sibuk dengan politik gagasan dan pertarungan ide di ruang publik. Saya kira, sikap ini tepat, sebab jika mereka merespon kubu lawan dengan syi'ar kebencian maka yang ada hanya menimbulkan polusi kebencian dan caci maki di dalam ruang publik kita.

"Politik gagasan itu justru menjadi keunggulan kita dan dengan demikian memberikan edukasi politik kepada masyarakat untuk bersama-sama merawat persatuan," ujar Poltak Sinaga.

Noel memilih bergabung dengan Prabowo karena dia melihat hanya Prabowo yang memiliki gagasan untuk memajukan Indonesia. Gagasan-gagasan yang dilahirkan Prabowo itu bukan sesuatu yang muncul tiba-tiba, tetapi lahir dari suatu refleksi panjang di seluruh peristiwa hidupnya. Ia terlibat dan bergulat dengan setiap pengalaman hidup yang membentuk dan menuntunnya hingga tiba pada titik ini.

"Kita lihat satu-satunya pemimpin yang penuh dengan hujatan, caci makian, dan fitnahan, dan juga penuh dengan intrik, Pak Prabowo ini kan lahir dari proses panjang karena dia pemimpin yang tidak lahir secara instan," tandas Noel.

Konsekuensi menjadi pemimpin adalah siap dihujat dan dicaci maki. Itu sudah seperti kehendak alam, tetapi yang bermasalah adalah mereka yang gemar menggunakan "politik sentimen" sebagai senjata untuk menyerang lawan dan melakukan pembunuhan karakter terhadap lawan politik.

Masalah sejatinya terletak pada mereka yang praktis tidak memiliki gagasan selain hujatan dan cacian. Ini memang ancaman bagi si pemimpin yang menjadi korban, tetapi menjadi bahaya yang sangat serius bagi masyarakat Indonesia karena hanya mengkonsumsi kebencian dan hasutan dari para demagog tersebut.

Jika setiap hari masyarakat hanya disuguhi oleh kebencian dan hasutan seperti itu, maka tinggal menunggu waktu saja untuk memanen perpecahan dan polarisasi di tubuh masyarakat.

Budiman Sudjatmiko sendiri memilih mendukung Prabowo Subianto karena eks aktivis 98 itu melihat ada kesamaan pandangan politik antara dirinya dengan eks Danjen Kopassus itu. Keduanya sama-sama memiliki pemikiran strategis untuk memajukan Indonesia.

Bagi Budiman hanya Prabowo calon presiden yang memiliki pandangan strategis untuk memajukan dan menyejahterakan Indonesia dan hanya Prabowo yang dapat membuat Merah Putih berkibar setara dengan bangsa-bangsa lain di kancah internasional.

Pemikiran strategis yang dimiliki Prabowo itu karena latar belakangnya sebagai pasukan elit searah-setujuan dengan Budiman yang merupakan aktivis pergerakan. Keduanya memiliki kesamaan yaitu sama-sama mencintai literasi, menyukai belajar, gemar membaca, dan memiliki kemampuan menganalisis situasi aktual secara cermat.

Kesamaan visi inilah yang membuat kedua tokoh bangsa ini bisa menyatu di panggung politik yang sama untuk mewujudkan ide-ide besar untuk memajukan Indonesia. Saya teringat Empedokles, seorang filosof dari era Yunani pra-Sokratik, yang mengatakan "yang sama mengenal yang sama."

Orang seperti Budiman akan ditarik oleh kesamaan visi dan idea untuk menyatu dengan Prabowo, bukan karena idealisme mereka bisa dibeli dengan uang, tetapi justru karena mereka membiarkan dirinya dibimbing oleh visi yang sama.

Bagi Budiman, Prabowo adalah man of idea, seorang pemimpin yang memiliki gagasan dan visi untuk kesejahteraan bersama.

"Kita butuh kepemimpinan strategik yang mencoba melihat keadaan global, tatanan global, dan tantangan juga keadaan ekonomi, perang, teknologi yang menurut saya kita membutuhkan kepemimpinan strategik yang menempatkan visi-misi jangka panjang strategis dan melihat soal-soal rakyat," ungkap Budiman.

Jika kita ikuti pernyataan Budiman ketika menjadi narasumber pada diskusi "Mengapa Aktivis Mendukung Prabowo?" (6/9), dapat kita tarik benang merah bahwa Budiman sudah lama 'meneliti' tentang Prabowo, mungkin juga mendukung ide-ide Prabowo secara diam-diam.

Bagi Budiman Prabowo adalah seorang intelektual yang berseragam militer yang besar di zaman Orde Baru. Ini tentu sebuah pernyataan yang baru yang dilontarkan oleh aktivis sekaliber Budiman.

"Bahkan saya berani katakan dan ini belum pernah diketahui orang, sebenarnya dia sosok intelektual yang pernah berseragam militer. Saya paham betapa sunyinya pada saat itu, betapa lonely-nya beliau, tentara, besar di era Orde Baru, suka baca. Itu siksaan."

Pernyataan ini memang baru, tetapi sekaligus menyiratkan hubungan yang sangat intim tapi diam-diam antara Budiman dan Prabowo. Budiman secara diam-diam melacak dan memahami Prabowo karenanya bisa merasakan perasaan sunyi yang Prabowo alami.

Untuk merasakan perasaan sunyi itu hanya bisa dilakukan oleh mereka yang pernah mengalaminya dan atau masuk ke dalam pengalaman orang lain secara begitu mendalam. Saya kok yakin Budiman telah lama bersemayam setiap perisitiwa hidup Prabowo baik secara sadar atau tidak sengaja.

Dalam hal ini saya harus angkat topi pada Budiman juga Noel serta Poltak dan masih banyak aktivis lainnya. Seorang aktivis yang jujur terhadap idealismenya dan hidup berdasarkan visinya. Mereka tidak peduli konsekuensi dari sebuah pilihan politik, dicaci dan dihujat.

Toh, pilihan politik yang lahir dari refleksi serius akan membawa seseorang kepada kesunyian batin yang hebat sebelum mereka keluar sebagai pemenang!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun