Tiga kayuhan per detik. Aku masih ingat benar bagaimana Dimas membawaku dengan sepeda putih berkeranjang depan kala itu. Jantungku hampir terlepas dari persemayamannya jika dia tidak menghentikannya beberapa saat kemudian.
“Sampaiii…,” ucapnya dengan santai, lalu memarkirkan sepedanya dan membuka penutup mata yang sejak tadi mengganggu penglihatanku. “Sudah kubilang, kamu pasti suka,” lanjutnya lagi setelah melihat ekspresi kagumku pada hamparan bunga merah jambu cherry blossom yang tersusun rapi di sepanjang mata memandang.
Hari ini, 4 April, hari ulang tahunku yang bertepatan dengan puncak musim semi tahun ini. Aku sangat senang Dimas memberikanku kejutan indah di tahun pertamaku disini. Seketika aku sangat ingin memeluknya dan mengucapkan terimakasih, namun kini kulihat ia sudah beranjak ke salah satu pohon disana.
“Dim, mau ngapain?” tanyaku saat melihatnya mulai bertingkah mencurigakan.
Kulihat dia hanya tersenyum penuh rahasia di balik wajah tampan yang mampu meluluhkan hati setiap wanita itu. “Ssstt... aku ambilkan sedikit buatmu,” katanya sambil berbisik.
“Nggak usah, ntar di….” Belum sempat aku menyelesaikan ucapanku, Dimas sudah mulai memanjat pohon itu.
Ah, sebenarnya aku menyayangkan kebodohannya yang harus memanjat. Kenapa tidak melompat? Dia kan tinggi, pastilah sampai.... Bagaimana kalau ada yang lihat?
Hmm, benar saja, belum lama setelahnya ada orang yang lewat dan menegurnya, “Hei, sedang apa kamu?” kata pria paruh baya yang berpakaian khusus hiking lengkap dengan ransel dan tongkatnya itu.
Lucu, aku sampai harus menahan ledakan tawa saat melihatnya tiba-tiba terjatuh dan langsung membungkukkan badan berkali-kali untuk meminta maaf.
Setelah menyelesaikan masalahnya dengan pria itu, ia kembali ke arahku dengan wajah masamnya. Dia bilang, dia pasti akan mencobanya lagi. Tentu dengan ucapannya yang selalu mantap dan begitu meyakinkan. Namun sepertinya itu hanya dalam kata saja. Pada kenyataannya, seminggu kemudian, entah karena alasan apa dia tiba-tiba harus pulang ke Jakarta.
Kaos biru muda, celana jeans, kets putih, dan koper abu-abu. Aku masih ingat segala yang ia kenakan saat di bandara. Aahh~... tak lupa ia selalu membawa gantungan kunci ‘pria ber-hanbok’ yang selalu muncul dari saku celananya itu. Sebuah hadiah kecil yang pernah kuberikan padanya sebulan yang lalu.
“Hati-hati selama disini,” pesannya sebelum pergi. Senyum hangatnya itulah yang terakhir kali kulihat sebelum ia benar-benar pergi dan takkan pernah kembali setelah mengalami kecelakaan mobil yang merenggut nyawanya beserta seluruh keluarganya sesaat setelah tiba di Jakarta.
4 April 2016, Busan
Kuletakkan koper hitamku disamping bangku kayu tempatku duduk saat ini. Kelopak bunga merah muda pun masih berterbangan didepan mataku dengan indahnya. Di depan sana dua anak kecil dengan cerianya berteriak, berlari berkejaran kesana-kemari, saling menghindar, dan kemudian sama-sama terduduk karena kelelahan. Lalu membeli eskrim? Ya, dulu aku dan Dimas juga bertingkah seperti mereka.
Hh, entah kenapa semua keindahan ini menjadi terasa semu setelah melintas ingatan tentang Dimas. Seperti ada yang kurang tanpa dirinya. Aku pun lebih tertarik untuk membuka kembali botol yang sudah terkubur 14 tahun yang lalu itu. Kini botol itu ada di dalam tas kecilku, sudah kuambil beberapa waktu yang lalu. Memang benda itu sudah tak ada artinya lagi tanpa dia. Tapi saat ini yang ingin kulakukan hanyalah melengkapi misi ini. Ya, setidaknya bisa sedikit mengurangi kerinduanku padanya.
Kubuka gulungan kertas kuning itu, dan kutuliskan sesuatu diatasnya. Seperti kata Dimas dulu tentunya. Miris, aku hanya melakukan ini sendirian. Dan tak terasa pandanganku mulai kabur oleh air mata ketika kembali mengeja satu persatu tulisan yang ada disana.