Mohon tunggu...
Noel Kurniawan
Noel Kurniawan Mohon Tunggu... Lainnya - Homo sapien

Samabodi, melintas tak tertangkap.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Si Hoho

6 Agustus 2015   00:11 Diperbarui: 6 Agustus 2015   00:11 59
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="tokek di teras"]
[/caption] Mereka bilang aku cerewet. Lha tapi untuk itulah mereka mengusung dan menaruh belasan lampu tembak di mukaku: agar aku bisa tetap cerewet. Padahal bisa jadi nanti sore ada angin ribut lalu tubuhku terbang, mendarat tercerai berai di parkiran kampus sebelah. Atau besok kerusuhan terus aku dibakar. Atau – ini lebih mungkin terjadi – tubuhku lapuk kena hujan dan panas, asam asap knalpot, terpaan angin, dan runtuh lantaran baut yang hilang satu per satu oleh tangan jahil. Tetapi setidaknya aku punya pilihan untuk menulis. Dan aku berkuasa memilih kata dan kalimat. Bahkan huruf. Bahkan – yang paling penting – aku berkuasa penuh memilih untuk memikirkan apa. Untuk itu, pekenalkan, namaku Hoho. Aku adalah baliho di perempatan yang kamu lewati 2-8 kali sehari.

Aku adalah baliho yang rajin. Aku mencintai pekerjaanku. Menurutku, aku adalah makhluk yang baik. Tugasku mulia: menyampaikan pesan. Bukankan membuat orang saling berbicara selalu merupakan pekerjaan baik? Dan lihatlah, lihatlah mulut-mulut setengah ternganga yang menatapku, remaja yang berbinar lama memandangku, para manula yang “ra dong” tapi senyum dikulum, dan bahkan sekumpulan anak muda yang apatis pun diam-diam mengerlingku. Bukankah keinginan menghancurkan itu juga hasrat, hahaha.

Tapi tentu, aku adalah baliho yang jauh lebih baik daripada yang pernah kalian semua pikirkan. Aku jauh lebih baik karena aku selalu mengabarkan hal baik. Orang bilang PSA (Public Service Ads.). Di tubuhku selalu tertulis saran dan inspirasi untuk kalian semua. Aku tidak menjual barang, bukan untuk keuntungan diriku, tapi murni – dengan hati yang tulus – agar kalian semua melihat, membaca, merasa, dan hidup lebih tenteram. Lalu kelak aku mati sambil tersenyum. 

Memang sih, kalian akan mendiskusikan siapa yang diuntungkan dari gambar yang aku paparkan di perempatan. Bisa jadi Om Owi, bisa jadi Om Owo, bisa jadi politikus berkumis tikus yang ga bosan-bosannya nangkring di perempatan jakal-ringroad Jogja, bisa jadi tukang sate yang mangkal di bawah; bisa siapa saja. Tetapi mungkin itu tidak penting. Karena kalau kalian tahu ini semua menguntungkan siapa, terus lantas apa? Apa kalian berani menuntut? Ah, paling-paling hanya menggerundel dan mencari-cari celah agar dapat cipratan keuntungan di kesempatan lain. Lha, aku tidak seperti itu. Baliho-ku profesional. Tidak berurusan dengan hal-hal cengeng begituan. Aku juga tidak seperti baliho yang menawarkan jutaan sensasi (karena manusia sudah sejak lama hanya makan simbol) tetapi malah tidak mengubah apa-apa: kecuali tambah aktivitas macam roadshow ke kampus-kampus, buku cerita yang isinya miris, inspirasi tak henti-henti sampai mastrubatif, ... Ah. Ternyata kalian manusia membosankan ya. Aku kan baliho yang baik. Tidak pernah membosankan. 

Ah ya satu lagi. Aku ini mungkin sombong. Beberapa baliho lain menuduhku begitu. Tetapi sebenarnya aku ini jujur. Jujur bahwa aku sombong, dan sombong bahwa aku ini jujur. Dengan kata lain, yang berbeda tapi masih bertalian darah, aku ini naif. Memandang dunia hitam dan putih, senang dan bahagia. Tetapi bukankah pencerahan dan kenaifan itu hanya dipisahkan benang setipis sutera, yang di antaranya neraka menjerat? Ah, mungkin itu sebabnya kini aku belajar memandang dari sisi yang lain. Bahwasanya aku terlalu naif, sok pintar, dan buta melihat bahwa kalian adalah manusia. Dan manusia pula yang menentukan gambar mana yang kupajang di tubuhku. 

Jadilah pagi kemarin aku uring-uringan. Gambar-gambar “mengubah hidup” khas a la PSA, yang setiap pagi disapa oleh anak-anak SD saat berangkat sekolah, yang diperbincangkan kakek-nenek di pojok sana, yang kerap dipotret oleh remaja metropolitan yang piknik, tiba-tiba diganti dengan iklan obat lemah syahwat. Duh. Blaik! Obat lemah syahwat, coba! Memangnya kalian manusia mau apa kalau syahwatnya kuat-kuat? Mau mensyahwati tiang listrik? 

Jelas ini pengkhianatan. Obat lemah syahwat, pil biru, “demi keharmonisan rumah tangga” katanya. Prek! Justru kebanyakan syahwat malah pada selingkuh. Lagipula memangnya keluarga lantas harmonis hanya karena pria kekar dan memenangkan ranjang? Ah, menghina perempuan, bukan. Nggak oke. Ketinggalan zaman. Dan pil-pil itu apakah baik untuk kesehatan? Dan pun bila baik, apakah pantas memberi imaji yang penekanannya keliru ke masyarakat, bahwa “hal yang tampak baik” adalah “hal baik”? Dan bukankah cukup ditulis kalau kini ada obat anti lemah syahwat bla bla bla dan informasi prnting secukupnya? Tidak perlu diberi foto perempuan muda, anak-anak, imaji keluarga mapan, dan seterusnya? Itu mendorong orang-orang untuk melihat, kepingin, dan terjebak untuk membeli obat lemah syahwat. Ini seperti membeli gula saat masakanmu kurang asin. Aku – sebagai baliho – merasa malu. Malu karena tubuhku ditempeli iklan yang tidak senonoh dan tidak memberi informasi yang akurat dan proper. Yah, aku ternyata masih lugu. 

Sore hari aku mulai berpikir. Ternyata sepertinya aku memang masih lugu.

 

(tulisan lama yang hampir membeku di hard disk)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun