272. Zana Purie
Ibu…
Terlalu banyak kata untuk menggambarkan sosokmu
Terlalau indah hingga tak kutemukan kata-kata dalam KBBI sekalipun yang dapat mewakili keindahan kasih sayangmu
Nyawa ini sekalipun, tak sebanding daripada setiap hembusan nafas dalam perjuanganmu
Yang memberikan, mencurahkan dan memberikan apapun tanpa sedikitpun pertimbangan
Teruntuk ibu yang selalu terjaga untukku
Beberapa kerabat pernah bercerita padaku, dulu saat aku hendak dilahirkan, ibu mengalami kontraksi yang tidak sebentar. Sejak sore hari hingga menjelang pagi, mata indah ibu tak sedetik pun dapat terpejam, menahan rasa sakit tanpa mengeluh. Berkali-kali ibu mengatakan pada ayah jika ibu tak sabar ingin menyambutku di dunia ini. Aku pernah mendengar, dalam keadaan kontraksi, calon ibu akan merasakan tubuhnya seolah terbelah jadi dua. Rasa sakit bahkan tak terasa lagi karena teramat sangatnya rasa sakit itu sendiri.
Ibu, bahkan hingga detik ini aku masih belum mampu membayangkan saat 20 tahun lalu ibu berada dalam situasi tersebut selama berjam-jam. Dan belum cukup sampai disitu, ibu masih harus berjuang bahkan bertaruh nyawa hanya demi diriku agar dapat melihat dunia.
Sebagai seorang ibu, ibu rela semenderita itu untuk anaknya.
Sebagai anak, dalam melakukan sesuatu untuk ibu, aku masih sering mempertimbangkan untung dan rugi. Jika ibu rela mengorbankan nyawanya, sekedar berkorban waktu, lebih sering aku tak mau. Sering sekali aku menolak dan tak mau disuruh melakukan sesuatu untuk ibu saat sedang asyik menonton TV atau melakukan sesuatu yang disukai.
Ibu, katakan padaku, masih pantaskah aku memohon maaf darimu?
Ibu, apakah Tuhan masih mau memberi ampunan-Nya untuk anak yang tak tahu diri ini?
Teruntuk ibu yang selalu terjaga untukku
Tak berarti seorang ibu sudah dapat merasakan tenang setelah anaknya lahir. Tidak, ibu masih tak dapat tertidur di malam hari . Aku mungkin tak dapat mengingatnya, namun berbekal cerita dari ayah dan beberapa kerabat, sedikitnya aku bisa mendapatkan gambaran masa kecilku.
Aku, saat itu adalah bayi yang amat cengeng. Tangisan hampir setiap saat menggema dalam rumah, tak peduli pagi, siang atau tengah malam sekalipun. Dan hanya ibu yang dapat menghentikan tangisanku itu.
Di tengah malam buta dan dalam keadaan mengantuk, ibu harus berjalan-jalan kecil di halaman sambil menggendongku, sesekali menunjukkan bintang-bintang yang ada di langit. Berharap aku lekas kembali tenang lalu tertidur, dan itu tidak sebentar. Belum cukup demikian, aku hanya bisa tidur ketika dalam gendongan ibu, jadi selama beberapa bulan ibu harus tidur dengan terduduk di kursi.
Aku, hanya bisa menangis setiap kali mengingat cerita ini. Bahkan hingga detik ini ibu masih memberikan segalanya untukku, sekecil apapun itu.
Ibu, aku tak akan pernah dapat melupakan saat itu. Saat aku bermaksud pulang kampung setelah beberapa bulan tak pulang. Aku sampai di rumah pada tengah malam dengan dijemput ayah. Aku mengetuk pintu, lalu ibu membukakan pintu dan menyambut dengan sebuah senyuman sambil berkata “Kamu sudah makan, Nak?” dan aku menggeleng. “Sebentar, ya, Nak. Ibu akan membuatkan nasi goreng untukmu,” jawabnya kemudian.
Demi Tuhan, saat itu aku benar-benar ingin memelukmu namun aku tak mampu. Canggung, ya, mungkin seperti itu. Jujur, anakmu ini benar-benar tak pandai mengekspresikan perasaan.
Maafkan aku jika selama ini aku tak pernah memelukmu atau menciummu seperti kebanyakan anak-anak lain. Tapi bukan berarti aku tak sayang kepadamu. Jika hatiku yang terdalam ini dapat bicara layaknya bibir, setiap detik dia akan mengatakan “I love you” padamu.
Teruntuk ibu yang selalu terjaga untukku
Seorang ibu pasti tidak akan dapat tidur dengan tenang jika anaknya sedang sakit. Termasuk kau, ibu.
Aku mungkin tak dapat mengingat dengan baik seperti apa masa kecilku. Aku hanya melihat ketika adik yang masih bayi sedang sakit, ibu hampir sepanjang malam tak tidur sama sekali. Ibu terus menggendong, menimang-nimang dan melakukan segala cara agar adik berhenti menangis, selain memberikannya obat.
Aku melihat kelelahan yang tampak dengan jelas dari sorot mata ibu. Tapi seakan tak peduli, ibu tetap menimang-nimang adik sampai tertidur. Saat adik sudah tidur sekalipun, ibu masih setia menungguinya sambil menek-nepuk pantat adik agar ketenangan dalam tidur adik tetap terjaga.
Mungkin aku melihat ibu memeperlakukan begitu saat kepada adik saja dan aku tak dapat mengingat apapun tentang masa balitaku. Tapi aku percaya ibu adalah seorang ibu yang adil, ibu tak pernah membedakan di antara kami. Aku sangat yakin ibu juga berbuat demikian padaku saat aku sedang sakit dulu. Ketika aku sudah remaja pun, saat aku sedang sakit, ibu rela bangun tengah malam saat aku minta untuk dipijit.
Ibu, maafkan aku.
Maafkan aku yang sering kali mengeluh dalam merawatmu ketika kau yang sedang sakit. Lelah dan merasa kesal saat kau minta dipijit atau meminta dibelikan obat. Ya, aku melakukannya memang, namun dalam hati menggumpal perasaan yang kesal.
Aku memang tak tahu diri. Aku selalu berpura-pura amnesia pada diriku sendiri atas ketulusanmu ini. Kau yang yang tak pernah mengeluh dan terkadang tak peduli atas kesehatan dirimu sendiri. Anakmu adalah prioritas untukmu.
Ibu… di sini aku merindukanmu. Ingin sekali aku bertemu dan bersimpuh memohon ampun kepadamu. Ibu, masih adakah ampunanmu untukku?
Teruntuk ibu yang selalu berjuang untukku
Ibu, dulu Aku tak pernah terpikir akan bisa menempuh pendidikan hingga setingkat ini. Aku tahu betul dengan kondisi ekonomi keluarga kita tidak memungkinkan aku untuk kuliah, bersekolah sampai SMA saja aku masih meragukannya.
Ibu, kau pernah mengatakan saat kecil Aku senang sekali melihat dan bergaya layaknya anak kuliahan. Jujur, Aku sendiri tak ingat pernah melakukan seperti itu. Tapi kau benar-benar memasukan apa yang aku lakukan ini ke dalam hati.
Subuh-subuh, sekitar sepuluh tahun yang lalu, saat itu aku masih duduk di bangku SD. Aku terbangun oleh suara berisik dari luar rumah, Aku lantas beranjak menuju ke sumber suara. Dan aku melihat ibu bersama beberapa tetangga akan berangkat ke sawah. Terus terang saat itu aku merasa sedih sekaligus terharu. Sedih, iya, saat berangkat sekolah tidak ada yang menyiapkan sarapan atau sekedar mengantarkan aku sampai depan pintu. Terharu, bahkan hingga detik ini aku terharu jika mengingat kau sudah berangkat bekerja padahal matahari saja masih terlelap dan kembali (pulang) ketika matahari akan segera terlelap kembali. Dan semua itu, hanya demi agar aku bisa sekolah.
Kau bekerja di sawah orang sebagi buruh tani dan seolah tak pernah merasa lelah. Upah yang tak seberapa itu sebagian kau simpan untuk biaya sekolah. Hingga di tingkat SMA, aku mendapatkan kesempatan memperoleh beasiswa untuk kuliah di sebuah universitas di Jawa Timur.
Terima kasih, rasanya kata ini tak akan pernah cukup membalas pengorbananmu ini. Mimpi hanya akan mimpi, dan keraguan yang sempat menghuni di hatiku akan jadi kenyataan tanpa adanya perjuanganmu yang luar biasa ini.
Ibu…
Kepada anak kau memang tak pernah pelit. Nyawa dengan senang hati akan kau berikan sekiranya hal itu dapat membuat bahagia anakmu. Kau bahkan tak memperdulikan dirimu sendiri, selelah apapun kau akan tetap ada untuk anakmu.
Ibu, aku tahu hingga detik ini kau pun masih sering tidak tidur karena memikirkan dan mengkhawatirkanku yang kini tinggal jauh darimu. Aku mengerti betul perasaan ibu ini. Kau membesarkanku dari kecil dengan segala yang kau bisa dan kau punya. Dengan susah payah kau mendidik dan menjagaku agar tak terjerembab di jalan yang salah. Tapi kini kau tak dapat menjagaku seperti yang sudah-sudah. Jarak yang jauh membuatmu tak dapat melihat apa saja yang ku kejarkan, mengingatkanku ketika yang kulakukan itu salah.
Tapi, ibu percayalah. Di sini, meskipun aku jauh darimu, aku akan tetap terus mengingat nasehatmu. Agama, seperti yang selalu kau pesankan padaku, aku akan berpegang teguh padanya (agama) di dalam pergaulan. Aku tak akan membuat percuma dirimu dalam memperjuangkanku selama ini.
Ibu, disini aku akan berjuang untuk membuatmu bangga. Kesempatan menempuh pendidikan sampai setingkat ini tak akan kusia-siakan. Aku akan menggapai cita-citaku dan membahagiakanmu. Meskipun semua ini tak akan pernah bisa sebanding dengan segala perjuangan juga pengorbanan yang kau lakukan untukku.
Ibu, benar-benar aku mencintaimu. Aku menyesal sering menyia-nyiakan dan membuatmu menangis. Aku memang bodoh, baru menyadari arti keberadaanmu yang laur biasa ini setelah jauh darimu.
Disini, tidak ada lagi yang menyambut pagiku dengan harumnya bau masakan. Hanya benda mati macam almari yang kudapati ketika aku membuka mata setelah terlelap di malam hari.
Sepi, tak ada yang mengomel meskipun aku bangun terlambat. Aku… aku merindukan omelanmu yang meskipun kadang terasa menyebalkan itu. Ibu… aku merindukannya.
Ibu, kau pasti akan marah sekarang jika aku bilang kalau disini aku makan dengan tidak teratur bahkan terkadang makan hanya sekali sehari. Hahaha… hidupku terasa berantakan tanpamu ibu.
Kau memang segalanya, kau yang paling tahu tentang diriku. Menyesal rasanya dulu tak menyadari betapa pentingnya kehadiranmu untukku.
Sekali lagi ibu, maafkan aku… ampuni aku…
Izinkan anakmu ini untuk membahagiakanmu di masa depan.
Aku mencintaimu ibu. Benar-benar mencintaimu.
Surabaya, 22 Desember 2013
-------
Untuk membaca karya peserta lain silahkan menuju http://www.kompasiana.com/androgini dan silahkan bergabung di group FB Fiksiana Community:http://www.facebook.com/groups/175201439229892/
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H