Mohon tunggu...
Zamzam Nurjaman
Zamzam Nurjaman Mohon Tunggu... Mahasiswa - Student

Belajar

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Analisis Putusan MK mengenai PHPU No 1/PHPU PRES-XXII/2024

11 Mei 2024   17:32 Diperbarui: 11 Mei 2024   17:32 254
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Nepotisme menurut KBBI ialah perilaku yang memperlihatkan kesukaan yang berlebihan kepada kerabat dekat, kecenderungan untuk mengutamakan (menguntungkan) sanak saudara sendiri, terutama dalam jabatan, pangkat di lingkungan pemerintah, tindakan memilih kerabat atau sanak saudara sendiri untuk memegang pemerintahan.

Jika kita merujuk pada Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 Tentang Penyelanggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, tepatnya di bab 1 pasal 1 disebutkan bahwasanya nepotisme merupakan setiap perbuatan Penyelenggara Negara secara melawan hukum yang menguntungkan kepentingan keluarganya dan/atau kroninya di atas kepentingan masyarakat, bangsa dan negara.

Secara hukum, tindakan nepotisme sebenarnya dilarang untuk dilakukan oleh penyelenggara negara. Larangan nepotisme ini berarti melarang penyelenggara negara menggunakan atau menyalahgunakan kedudukannya dalam lembaga publik untuk memberikan pekerjaan publik kepada keluarganya, dikarenakan nepotisme dapat menimbulkan konflik kepentingan.

Jika kita merujuk pada Putusan PHPU (Perselisihan Hasil Pemilihan Umum) Presiden dalam Pemilihan Umum tahun 2024 yang mana dalam PHPU itu terdapat Dissenting opinion 3 dari 9 hakim MK. Perlu untuk digaris bawahi, Putusan PHPU tahun ini secara tidak langsung berhubungan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi (PMK) No. 90 Tahun 2023 tentang Ketentuan Tambahan Pengalaman Menjabat dari Keterpilihan Pemilu dalam Syarat Usia Minimal Capres/Cawapres. Dapat terlihat gugatan dari Paslon No.Urut 01 dan 03 yang terfokus untuk pemilihan ulang atau diskualifikasinya Calon Wakil Presiden No.Urut 02.

Hakim MK, Prof Arief Hidayat Menyatakan bahwasanya Putusan MK Nomor 2 tahun 2023 tentang adanya pelanggaran berat kode etik dalam pengambilan keputusan tidak bisa menjadi bukti yang cukup untuk meyakinkan Mahkamah, bahwa ada tindakan Nepotisme yang menyebabkan Abuse Of Power Presiden terhadap perubahan syarat pasangan Calon.

Jadi, Nepotisme dalam pencalonan Gibran tidak terbukti karena Gibran dipilih oleh rakyat  secara demokrasi sebagai Wakil Presiden. Sehingga ketika kita merujuk Putusan PHPU dan menganalisis substansi mengenai dugaan Nepotisme, maka ada pergeseran makna dari definisi Nepotisme itu sendiri.

Suatu jabatan politik tidak bisa dikatakan nepotisme jika jabatan itu dipilih oleh rakyat meskipun Seseorang itu memiliki hubungan keluarga atau kerabat dengan pemangku jabatan diatasnya. Padahal potensi adanya Abuse of Power diindikasikan secara kekuasaan bukan  secara Hukum saja. Karena Jika kita hanya berorientasi secara hukum, maka zaman Orba pun mekanisme Pemilu, mekanisme Pemilihan jabatan politik itu sah secara hukum.     

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun