Tahun 1997, krisis moneter menghantam Indonesia. Harga barang naik drastis. Saat itu bahkan harga satu cabe bisa di rupiahkan. Saya masih ingat saat itu harga satu ikan dengan berat tidak lebih dari 100 gram bisa mencapai 15.000 sampai 20.000. Situasi benar-benar parah waktu itu. Uang jajan saya yang waktu itu Cuma 300 rupiah, yang awalnya bisa membeli donut, tiba-tiba hanya bisa digunakan untuk membeli mie pakai kuah doang. Saya masih ingat di masa itulah terkenal jenis ikan yang entah apa nama ilmiahnya namun diberi nama dengan Ikan Moneter, yang bentuknya kecil mirip sarden dan harganya tidak terlalu mahal.
Sebenarnya pada masa itu, Tidak semua profesi pekerjaan yang tiba-tiba harus menderita akibat naiknya harg di pasaran. Mereka yang berprofesi sebagai pedagang saat itu malah mendapatkan keuntungan yang luar biasa. Yah, kondisi dimana harga naik yang tidak dibarengi dengan naiknya penghasilan biasanya hanya dialami oleh satu jenis pekerjaan, para Pegawai Negeri. Dan sayangnya, orang tua saya adalah bagian dari pegawai negeri ini.
Saya sendiri masih ingat saat itu. Orang tua saya yang gaji awalnya ‘Lumayan’ pernah harus menerima slip gaji sebesar Rp.1.950. Bayangkan, ditengah situasi moneter dan harga naik, orang tua saya hanya menerima gaji yang tidak lebih besar dari jajan saya satu minggu. Saya menyadari bahwa untuk menutupi kebutuhan sehari-hari, orang tua saya harus ngutang sana-sini.
Di tahun 1998, kami sekeluarga pun harus pindah rumah yang awalnya sangat dekat dari sekolah saya tiba-tiba harus jauh sekali. Sekedar info, jarak dari kontrakan orang tua saya yang lama ke SD saya Cuma 800 meter. Nah di kontrakan baru ini, jaraknya mencapai 3 kilometer. Jarak yang cukup jauh untuk ditempuh tiap harinya.
Bersyukur saat itu ayah saya sudah sempat membeli sebuah mobil. Mobil ini bagi saya bermakna sekali karena ia adalah ungkapan cita dari Ayah saya agar anaknya tidak merasakan kepedihan lagi. Sekedar cerita, mobil ini adalah cita-cita ayah saya yang muncul lantara 3 tahun sebelumnya, saat kami sekeluarga mudik ke kampung ayah dengan mengendarai motor, kami mendapatkan kecelakaan yang cukup membuat trauma ayah saya. Saya masih ingat saat kecelakaan tersebut, ayah saya berikrar ‘Nak, ini adalah terakhir kita mudik dengan motor. Tahun-tahun depan kita akan mudik pakai mobil’ dan setahun kemudian, beliau pun rela berhutang kesana-sini untuk membeli mobil.
Kembali ke cerita, jarak dari rumah saya yang lumayan jauh kesekolah, alhamdulillah tiap paginya bisa ditempuh dengan mobil tersebut. Yang jadi masalah adalah saat pulang sekolah. Kalau saya ingin menaiki jemputan mobil tersebut, saya biasanya harus nunggu setengah jam bahkan tak jarang se-jam. Hal ini tentu saja membosankan. Maka biasanya saya memilih jalan dari sekolah ke rumah, menempuh jarak yang lumayan jauh di tengah teriknya matahari atau derasnya hujan. Yah, ketimbang harus menunggu jemputan terlalu lama. Bagi saya ini yang namanya berpindah dari takdir yang satu ke takdir yang lainnya. Dari Takdir menaiki jemputan ke takdir tidak menaikinya dan berjalan pulang sendiri.
***
Menunggu jemputan itu adalah salah satu fragmen dari takdir, dimana fragmen lainnya adalah saat kita memutuskan untuk tidak menunggunya. Yang jelas, saat kita menunggu, kita tahu dan mendapatkan rasa yakin yang entah dari mana bahwa jemputan itu akan datang. Saat kita menunggu di tempat itu, kita tahu bahwa jemputan akan datang. Hanya saja yang tidak kita ketahui adalah kapan pastinya jemputan itu akan datang ?
Maka, saat itu yang kita lakukan adalah menunggu. Menunggu dan terus menunggu dengan keyakinan yang besar bahwa jemputan itu akan datang. Nah, saat kondisi-kondisi seperti ini biasanya ujian akan datang. Kesabaran kita akan diuji saat jemputan itu telat atau bahkan tidak datang sama sekali. Saat itu, sebenarnya kita tahu bahwa perjalanan jemputan itu bisa saja sedang terhambat. Persoalannya, apakah masih ada keyakinan dalam diri kita bahwa jemputan tersebut tetap akan datang, atau kita lalu memutuskan untuk mencari alternatif lain, berjalan atau mungkin menaiki kendaraan yang lain.
Saat memilih opsi yang lain pun, semestinya kita bertanya ‘apakah kita sedang terburu-buru sehingga harus memilih opsi diluar menunggu jemputan ?’ Jawaban dari pertanyaan ini biasanya menjadi penentu pilihan kita.
Hidup itu sendiri adalah lingkaran jemputan. Ada saat dimana kita menjadi orang yang dijemput, ada juga saat kita yang menjemput. Yang jelas, ketika kita menjadi orang yang dijemput, kita bisa memilih tetap pasif dan menunggu penuh rasa yakin atau malah bersikap aktif untuk langsung menuju step selanjutnya. Pun saat kita menjadi orang yang menjemput, kita bisa bersikap santai atau malah tergesa-gesa mendatangi apa yang akan kita jemput.
Apakah akhirnya akan sampai di tempat yang sama dan tujuan yang semestinya ? hanya takdir yang tahu. Namun kita mempunyai banyak pilihan dalam hidup dimana kita bisa menentukan tujuan seperti apa yang ingin kita raih.
Hanya satu jemputan yang tidak bisa kita tolak dan tidak ada opsi lainnya, saat malaikat maut datang menjemput kita. Tidak ada waktu penundaan dan tidak ada pula percepatan. Semuanya ada di waktu yang tepat yang sayangnya tidak bisa kita ketahui. Beruntunglah orang-orang yang selalu siap sedia
http://zamzamisaleh.blogspot.com/2013/04/menunggu-jemputan.html
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H