Sabtu malam tanggal 15 Juni, kami berkumpul di balai dusun Pancer untuk mempersiapkan acara keesokan pagi, dalam suatu kesempatan beberapa dari kami berdiskusi, atau agar lebih keren sebut saja sedang berfilsafat, tentang tuhan; sesuatu yang selalu menarik bagi saya, walau beberapa orang tampak tidak peduli dan beberapa mengeluh bahwa rasio dan nalarnya tak sampai untuk membicarakan itu, malam yang sangat hangat dan penuh kekerabatan. Sekitar jam 8 malam, ketika sedang asyik berjalan-jalan di sekitar balai dusun tersebut, saya berjumpa dengan 4 orang pemuda desa setempat, dan tak disangka saya diundang mereka untuk mampir, duduk, dan berbincang dengan mereka, sesuatu yang tak akan saya lewatkan walau sejujurnya saya sedikit khawatir bilamana hal tak diinginkan akan terjadi, demikian gambaran yang muncul dalam kepala saya ketika melihat beberapa botol minuman keras di meja tempat mereka berkumpul.
Setelah menitipkan dompet dan telepon genggam saya –untuk mengantisipasi hal-hal yang tak diinginkan- saya lantas mendatangi mereka, dengan sedikit malu-malu tentunya. Sambutan pertama yang mereka berikan adalah menjabat tangan saya, saya merasa bak seorang tamu agung didepan mereka, dan lantas menawarkan segelas minuman kepada saya, jangan tanya saya menolak atau menerimanya, karena tentu saya terima demi menghormati mereka. Dalam hati saya merasa menyesal karena telah berpikiran buruk terhadap mereka, dan berpikir betapa konyolnya ketika saya sampai harus menitipkan barang-barang berharga saya. Sedikit dimulai dengan basa-basi secukupnya, lantas kami mulai beralih kepada topic yang lebih serius, tentu saja mengenai 2 masalah yang paling sering mereka hadapi sehari-hari yang telah saya jelaskan di bagian pertama.
Teringat bahwa ketika sore tadi melakukan analisis social di dusun tersebut saya hanya bertemu dengan orang-orang tua dan kakek-nenek saja, saya langsung berpikiran untuk melakukan analisis social colongan, dengan para pemuda dan lewat cara mereka, yaitu ngobrol ringan sambil minum sewajarnya. Ada satu pemuda yang sangat antusias ketika berbicara dengan saya, saat itu saya tak peduli dengan badan besar, tattoo, dan potongan preman nya, saya hanya tertarik untuk membongkar informasi dari dia, dengan cara anak muda tentunya. Saya tertegun ketika melihat betapa pintarnya dia mengolah kata, betapa dia sangat peduli dengan keadaan kampungnya, dan betapa ramah dia dan teman-temannya ketika menyambut pendatang seperti saya, sesuatu yang jauh dari bayangan yang ada di kepala saya sebelumnya.
Saya tak begitu tertarik menuliskan isi dari obrolan tersebut, saya lebih menyukai menceritakan pelajaran yang saya dapat dari malam itu. Yaitu ketika dalam sela-sela obrolan, saya teringat kalimat legendaris dari Pramoedya Ananta Toer, bahwa seorang terpelajar harus juga berperilaku adil sudah sejak dalam pikiran, apalagi dalam perbuatan. Saya merasa menjadi seorang Minke ketika dia telah delusi dan salah dalam menilai Nyai Ontosoroh -seperti digambarkan dalam buku pertama tetralogy Buru milik mbah Pram-. Malu, malu pada diri sendiri, itu yang saya rasakan, tapi lagi-lagi suatu pelajaran yang sangat berharga yang saya temukan dari seorang bertampang preman yang mengagumkan. terima kasih, dusun Pancer.
*********
Minggu pagi, sesuai dengan jadwal yang ada, akan ada penyuluhan hokum dengan bentuk semacam seminar yang akan kami lakukan, dengan pemateri dari BPN dan BLH Kabupaten Banyuwangi. Bapak-bapak tersebut akan memberikan gambaran mengenai 2 topik utama, mengenai lingkungan dan tentu saja agraria atau pertanahan, masalah pokok bagi warga Pancer.
Sesuai kebiasaan, saya tak akan menyorot isi dari seminar kecil-kecilan tersebut, saya akan menceritakan salah satu kekaguman lain yang saya rasakan pada mereka, bapak dan ibu nelayan. Anda harus tahu betapa tergetarnya hati saya, ketika melihat mereka –dalam sesi tanya jawab dengan para narasumber- bertanya, berkeluh kesah, mengajukan protes, dan mencurahkan beberapa isi kepala mereka dengan begitu hebatnya, tak kalah dari agitator ulung yang kita biasa lihat di layar kaca.
Di kampus, di mimbar kuliah, saya sudah terbiasa mendengarkan pertanyaan-pertanyaan dan uraian hebat dari teman-teman sesama mahasiswa, tapi begitu melihat mereka, semua bualan mahasiswa itu tak ada apa-apanya. Bukan dalam hal penguntaian kata atau penggunaan diksi bahasa, tapi sesuatu yang tidak kasat mata namun ada, begitulah kira-kira yang membedakan keduanya. Ada perbedaan –dalam hal rasa- diantara pertanyaan dan uraian yang ditujukan demi mendapat perhatian dosen lantas diberikan nilai yang bagus, dengan uraian yang keluar dari relung hati, pernyataan-pernyataan emosional yang benar-benar apa adanya, jujur, dan tanpa sandiwara. Hal yang tak akan saya dapatkan di bangku kuliah, ataupun buku-buku yang saya baca. Mungkin anda akan berpikir saya terlalu berlebihan atau bagaimana, yang jelas sekali lagi saya benar-benar kagum dan takjub pada mereka, lagi-lagi suatu pelajaran yang sangat berharga.
Di siang itu juga, di sebuah warung kecil nan sederhana di depan balai desa, saya berbincang dengan seorang petugas BABINMAS dan seorang staf dari kantor dusun tersebut, sekedar informasi, penampilan staf kamituwo ini begitu eksentrik, dengan gaya rocker lawas dan topi koboi warna abu-abu di kepalanya.
Dalam obrolan itu, saya bertanya kepada mereka tentang sebuah gejala yang saya temukan ketika mencermati jalannya seminar, suatu gejala yang sebenarnya cukup umum, namun tetap saja saya penasaran dan berkeinginan menanyakannya. Dalam obrolan itu, dengan menggunakan bahasa jawa kromo yang saya kuasai, saya ingin tahu kemana saja para pemuda, kenapa tak satupun dari mereka menghadiri seminar tersebut. Dengan sedikit tawa keduanya silih berganti bercerita tentang krisis kepedulian dari mayoritas pemuda akan acara-acara semacam ini, mereka lebih menyukai acara music semacam orkes dangdut, begitu kata bapak pegawai BABINMAS tersebut. Otak saya berpikir, kalaupun Gus Dur maupun Romo Mangun –dua figur yang paling saya kagumi- berkunjung ke dusun ini, dan lantas memberikan sebuah penyuluhan atau semacam seminar, barangkali mereka akan mengalami nasib yang sama, tidak dipedulikan oleh para pemuda.
********
Malam itu bulan hanya setengah penuh, bulan sabit, tak mengherankan karena dalam kalender jawa, tanggal hari itu adalah tanggal 7, hari minggu legi. Malam itu, kami menyelenggarakan sebuah pentas seni kecil-kecilan, semacam malam keakraban dengan para penduduk dusun Pancer, berlokasi di balai dusun tentunya.
Salah satu momen yang menarik malam itu adalah ketika seorang gadis kelas 6 SD –yang diawal acara menari tari Gandrung, tari khas Banyuwangi- melantunkan sebuah lagu asli Banyuwangi, berjudul “Asmoro”. Di sebelah saya berdiri, ada seorang ibu yang mengatakan bahwa dia merinding ketika mendengarkan lagu tersebut. Setelah saya bertanya, dia bercerita bahwa lagu tersebut adalah lagu tentang seorang yang patah hati, lagu yang penuh kegalauan. Digambarkan bahwa ada seorang wanita yang mencintai seorang lelaki dalam waktu yang cukup lama, namun tak sempat mengutarakan, apalagi memiliki lelaki tersebut, kalau bahasa gaulnya disebut dengan cidaha, alias cinta dalam hati. Alasan mengapa ibu tersebut merinding dan saya tidak adalah karena lagu tersebut adalah lagu yang liriknya disusun dari bahasa Osing, bahasa asli penduduk Banyuwangi, dan tentu saja saya tak memahami bahasa tersebut.
Momen menarik lain adalah ketika melihat puluhan anak kecil yang begitu antusias melihat film yang kami putar di layar LCD, sesuatu yang asing bagi mereka yang tak menikmatinya di sekolahnya. Sangat kontradiktif ketika teringat banyak mahasiswa –termasuk saya- yang kadang mengabaikan slide-slide kuliah yang biasa dipaparkan melalui media LCD. “kalau saja setiap hari saya lupa bahwa saya pernah mengenal layar LCD sebelumnya” , begitu pikir saya.
Di penghujung acara, setelah teman-teman menyalakan kembang api sebagai penutup acara, saya begitu terharu dan bahagia melihat raut wajah para penduduk Pancer di saat itu, apalagi melihat ekspresi anak-anak kecil tersebut, mereka begitu bahagia! Padahal sebelumnya saya tak begitu menyukai anak kecil, bahkan tetangga-tetangga saya yang masih kecil tak ada yang berani menatap mata saya, apalagi dekat-dekat dengan saya. Valeri, teman saya, mengatakan bahwa momen-momen seperti ini jauh lebih mahal harganya ketimbang capeknya badan karena duduk lama di bus selama perjalanan. Sekali lagi, pengalaman yang sangat berharga yang saya dapatkan di dusun kecil ini.
*******
Senin pagi tanggal 17 Juni, hari terakhir di Banyuwangi. Pagi itu kami mendatangi 2 sekolah dasar di wilayah dusun Pancer. Dalam kunjungan itu, kami berencana memberikan penyuluhan hukum kepada anak-anak tersebut, khususnya mengenai lalu lintas, dan pentingnya menjaga keselamatan di jalan.
Sekedar info, apabila anda memiliki niatan untuk membuka took yang menjual helm di tempat ini, bisa dipastikan usaha anda akan bangkrut. Di dusun ini, mulai dari remaja tanggung sampai orang-orang tua, tidak ada satupun yang saya temui sedang memakai helm ketika mengendarai kendaraan mereka, terlihat bahwa belum ada kesadaran menjaga keselamatan dalam berkendara di daerah ini.
Ketika pertama kali menginjakkan kaki di Sekolah Dasar Negeri 8 Sumberagung, tempat saya mendapat jatah memberikan penyuluhan hukum, saya begitu terkesan dengan antusiasme mereka, bagaimana mereka tersenyum dengan ramahnya menyambut kami, nuansa khas desa. Memasuki sebuah ruangan kelas, pemandangan pertama yang saya lihat adalah sebuah ruangan kecil yang penuh dengan pasir disana-sini dan sepertinya jarang dibersihkan, barangkali pasir pantai.
Di sekolah ini, jangan harap melihat anak-anak kecil berpakaian seragam rapi dengan segala atributnya. Disini, tak semuanya memakai sepatu ketika pergi ke sekolah, apalagi dasi ataupun ikat pinggang, sesuatu yang jarang ditemui, bahkan ada yang memakai celana jeans ketika dating ke sekolah, sesuatu yang tak akan anda temui di kota! Tapi tak apa, toh seragam dan hal-hal semacam itu tak akan terlalu menjamin kesuksesan mereka, bagi saya, asal mereka belajar dengan benar, tak masalah tidak memakai atribut sekolah seperti yang ada di protokoler pendidikan sekolah di Indonesia saat ini. Saya teringat sebuah pelajaran dari Romo Mangun, tentang hak anak-anak untuk menghayati ke-anak-an mereka. Terlepas dari keadaan, barangkali semua kenakalan anak-anak tersebut dalam tidak memakai seragam dengan benar adalah cara mereka menghayati hak tersebut. “suatu bangsa yang mendidik anak-anak untuk berbaris –dan saya tambah dengan berseragam rapi- akan memetik suatu generasi baru yang fasis, pemenggal leher kawan yang keluar sedikit dari barisan dan…. Notabene orang tua mereka juga” , begitu kutipan yang saya dapati dari sebuah buku karangan Romo Mangun.
Bagian terakhir yang akan saya tulis dalam kunjungan ke sekolah dasar ini adalah ketika begitu terharunya saya ketika mendengar sebuah ucapan dari seorang anak di sekolah itu. Dengan wajah polos dan nada bicara yang jujur, dia berkata pada saya, “mas, lapo e samean balik nang Malang, neng kene ae po’o” atau yang kira-kira berarti, “mas, ngapain balik ke Malang, disini saja”. Saya begitu terharu, saya yang selama ini tak begitu suka dengan anak kecil, karena bagi saya mereka identic dengan berisik dan tak pernah diam, suatu kondisi yang paling saya benci, perlahan mulai merubah sikap saya tersebut, suatu pelajaran yang tak pernah saya bayangkan akan saya dapatkan di sekolah ini. Untuk kesekian kali, terima kasih dusun Pancer.
*******
Begitu banyak pelajaran dan pengalaman berharga yang saya dapat selama beberapa hari berada di dusun itu, pelajaran dan pengalaman yang tak pernah saya dapat dari puluhan buku yang telah saya baca. 19 tahun pasca tsunami, Pancer terus berbenah dan memajukan dusun mereka ditengah berbagai keterbatasan yang ada. Suatu hal yang sangat layak diteladani dari sebuah desa di pesisir selatan kabupaten Banyuwangi ini. Matur nuwon Pancer, matur nuwon dulur-dulur FORMAH-PK. Terima kasih banyak atas semua pengalaman dan pelajarannya..
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H