Mohon tunggu...
Zamzam Martodihardjo
Zamzam Martodihardjo Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

seorang kaum proletar yang sedang belajar hukum, hobi futsal dan penyuka sepakbola italia, serta penikmat ikan asin dan nasi pecel.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Cerita dari Dusun Pancer, Pesisir Selatan Banyuwangi, 19 Tahun Pasca Tsunami (bagian kesatu)

18 Juni 2013   23:06 Diperbarui: 24 Juni 2015   11:48 2133
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Disuatu siang pada hari minggu kemarin, saya berbincang-bincang dengan seorang warga dusun Pancer, bagian selatan Banyuwangi. Bertanya-tanya tentang apa yang telah terjadi di dusun ini belasan tahun yang lalu, sesuatu yang membuat gesture tubuh dan sorot mata mereka sedikit berubah, barangkali ada semacam trauma yang masih tersisa pada diri mereka. Dalam perbincangan itu, warga tersebut bercerita tentang dahsyatnya tsunami pada medio tahun 1994 tersebut, tentang bagaimana hancurnya dusun elok itu akibat hantaman jutaan kubik air yang dimuntahkan Samudera Hindia, samudera di bagian selatan pulau Jawa.

Sebuah tugu peringatan berdiri kokoh di depan balai dusun Pancer, sebagai prasasti untuk mengingat tentang mereka yang telah tiada akibat tragedi tersebut. Pada prasasti tersebut, tertulis 299 orang meninggal pada dini hari ketika tsunami terjadi, saya sedikit lupa, namun kalau tidak salah terjadi pada awal bulan Juni tahun 1994. Sejujurnya, saya tak pernah mendengar tentang tsunami ini sebelumnya, saya baru berumur sekitar1,5 tahun ketika peristiwa itu terjadi

Dusun Pancer, sebuah dusun yang masuk dalam wilayah desa Sumberagung, kecamatan Pesanggaran; tempat tinggal bagi ratusan keluarga nelayan dan petani. Bisa dibilang, dalam aspek ekonomi, dusun atau bahkan desa ini sangat potensial, sangat bisa berkembang. Bayangkan ketika anda menjadi seorang kepala desa yang memiliki tambang emas, kemudian mempunyai beberapa pantai indah yang bahkan bisa dijadikan tempat penyelenggaraan sebuah lomba surfing tingkat internasional, bahkan ada teman yang sempat berceloteh bahwa jika diurus dengan benar dan benar-benar dimaksimalkan, daerah ini punya potensi untuk bisa jadi seperti pantai-pantai di Brazil, walau saya tak pernah tahu bagaimana dan seperti apa wajah dari pantai-pantai di Brazil.

******

Hari jumat tanggal 14 Juni kemarin, saya meninggalkan sebuah gubuk sederhana nan indah di sebuah desa di lereng pegunungan yang dingin dan jauh dari hingar bingar wisata Kota Batu, sesuatu yang saya sebut dengan rumah; untuk mengunjungi sebuah desa di tepian pantai di bagian selatan Banyuwangi, sebuah daerah yang suhu dan hawanya sangat kontradiktif dengan lingkungan asal saya ini. Sebelumnya, saya ingin berterima kasih kepada dulur-dulur baru saya di FORMAH-PK (Forum Mahasiswa Hukum Peduli Keadilan), Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, karena telah membolehkan dan mengizinkan saya –yang notabene bukan anggota FORMAH-PK- untuk bisa mengikuti kunjungan dengan tujuan memberikan penyuluhan hokum ini dengan mereka, sebuah pengalaman yang sangat berharga, walau sebelum berangkat, saya sempat khawatir akan teralienasi selama 4 hari, yang untungnya tidak pernah terjadi.

Sabtu pagi tanggal 15 Juni kegiatan ini dimulai. Di pagi hari dibawah guyuran hujan, saya dan beberapa teman mengunjungi balai desa Sumberagung, dengan niat untuk belajar tentang kreatifitas dari ibu-ibu PKK. Saya tidak akan sedang menyoroti bagaimana cara membuat tas dari lembaran koran bekas ataupun bunga dari plastic dan semacamnya. Saya akan bercerita tentang semangat mereka, semangat ibu-ibu yang jatuh cinta dengan pekerjaan barunya, pekerjaan yang walau sudah mereka lakukan bertahun-tahun namun masih membuat mereka kasmaran dan bergairah ketika melakukannya.

Ketika pertama menginjak balai desa ini, terus terang saya sangat kagum dan takjub, baru pertama kali ini saya melihat ada balai desa yang memiliki ruangan yang dialokasikan dan digunakan sebagai perpustakaan. Saya bahkan tidak pernah menemui hal semacam itu di desa-desa di kota saya yang sudah cukup maju, sebuah kenyataan yang disatu sisi sangat menggetarkan hati. Bagi kalian sesama para pembaca dan penikmat buku-buku filsafat, sastra, politik, ketuhanan, atau genre berat sejenisnya, anda tak akan menemukan buku-buku semacam itu di perpustakaan ini. Di perpustakaan ini, lebih banyak terdapat buku-buku bagi anak sekolah dasar, dan beberapa bagi mereka para ibu hamil, disamping buku-buku umum lainnya. Sekali lagi, sebuah kepedulian yang bertujuan untuk pengganjaan massa agar para penduduk desa memulai mencintai dan tumbuh hasrat membaca buku, sesuatu yang patut diteladani dari sebuah desa –yang kata salah seorang ibu PKK katakan pada saya- tidak mempunyai akses internet, alias tidak ada warung internet!

Kembali berbicara tentang ibu-ibu PKK, terlepas dari ‘kekejaman’ mereka yang menyuruh saya membongkar hasil karya tangan saya, yang menurut mereka sangat amburadul dan tidak akan bisa dipakai menjadi sebuah tas, tidak ada kata lain yang dapat dipakai untuk menggambarkan mereka selain kata “mengagumkan”. Anda harus melihat sendiri bagaimana tangan-tangan terampil mereka dengan mengagumkannya membuat kerajinan-kerajinan tangan dari bahan-bahan bekas, yang kemudian mereka jual dan –dari info yang mereka berikan pada saya- digunakan untuk mengisi kas PKK desa itu. Salah satu conton bahwa sekarang sudah bukan lagi era membangun desa, melainkan desa lah yang membangun. Barangkali dalam pikiran anda akan terlontar ucapan, “ah, biasa saja, di desa saya juga begitu”; memang, bahkan di desa saya ibu-ibu PKK dengan industry sari apel mereka sudah mempunyai omzet yang lebih tinggi daripada di desa Sumberagung ini, tapi tunggu, saya tidak yakin desa anda pernah terkena tsunami atau bencana dahsyat lain.

Kesadaran ibu-ibu tersebut dimulai dengan dorongan dari istri kepala desa setempat, bagimana ibu kades mendorong dan mengajak mereka untuk lebih maju setelah bencana tsunami itu. Ini tentang bagaimana seorang pemimpin harus bersikap, tentang bagaimana cara pemimpin membuat rakyatnya mencintai mereka, dan memang benar bahwa ibu kades tersebut sangat dicintai oleh warganya. Bayangkan, di sebuah desa kecil dengan masa lalu kelamnya, seorang pemimpin kecilnya mampu mengajak rakyatnya membuat sebuah perubahan yang semakin lama semakin besar bagi rakyatnya; sedang di bagian Indonesia lain, para pemimpin sibuk dengan kepentingan mereka, dengan korupsi mereka, dengan istri-istri muda mereka, dengan jual-beli politik mereka, dengan akal-akal busuk mereka yang semakin lama semakin lebih tidak masuk akal daripada sinetron-sinetron di layar kaca. Ada dikotomi pedagogi-demagogi disini, anda bisa lihat, sangat kontradiktif, ada 2 hal yang saling bertolak belakang. Belum lagi bila anda membandingkan antara ibu-ibu PKK ini dengan bapak-bapak PK* di Senayan sana. Nama lembaga boleh mirip, tapi, ya sudahlah.

********

Sore hari dengan backdrop panggung yang sangat indah, ombak Pantai Pancer yang bergulung, dengan suara khas pantai, ditambah dengan senyum ramah para penduduk sekitar, kami berjalan menyusuri dusun Pancer, bertamu dari satu pintu ke pintu yang lain untuk melakukan analisis social, mencari tahu masalah-masalah apa yang mereka hadapi selama ini. Anda tak perlu membayangkan mereka akan berbicara mengenai RUU yang menyatakan adanya wajib militer, atau membayangkan mereka berdialektika mengenai isu-isu korupsi diluar sana, apalagi menyinggung masalah adanya partai yang akan keluar dari koalisi, mereka sama sekali tak peduli dengan hal-hal semacam itu, bagi mereka ada masalah-masalah lain yang lebih menghantui mereka daripada isu-isu kontemporer semacam itu yang barangkali sebentar lagi akan menguap karena elite-elite politik sedang akan bereuforia dengan nuansa bulan puasa dan lebaran. “ini waktunya mudik, kawan. Masalah-masalah lain kita bicarakan bulan depan, setelah kita saling bersalaman dan bermaafan”, dalam imajinasi saya, barangkali situasinya akan seperti itu nanti, barangkali…

Kembali ke dusun Pancer, dari belasan rumah yang saya datangi, dan ratusan jika digabung dengan teman-teman yang lain, ada beberapa masalah mendasar yang menjadi momok bagi mereka, masalah yang membuat mereka sangat khawatir –saya pikir mereka tak kalah khawatir daripada bapak Presiden yang khawatir akan ditinggal rekan kerjanya-. Dalam tulisan ini, saya akan mengangkat 2 masalah saja,

Yang pertama adalah masalah lingkungan, yang nantinya akan mempunyai efek domino dan bergeser kepada masalah-masalah lain. Masalah lingkungan ini tentang bagaimana pantai pancer yang sudah tidak seproduktif seperti dulu lagi, “ulam e sampun sepi” , kata mereka dalam bahasa jawa kepada saya, yang artinya adalah ikan disini sudah sepi, alias sulit untuk mendapat ikan. Sering saya bertanya kepada beberapa dari mereka mengenai sebab dari hal tersebut, yang paling saya ingat adalah seorang kakek yang dengan gaya khas seorang filsuf mengatakan bahwa, Tuhan sudah memberikan mereka ikan untuk mereka panen, untuk mereka ambil demi kehidupan mereka, tapi ketika manusia sudah tidak menghargai pemberian tuhan dalam arti berperilaku buruk dan merusak laut, maka jangan salahkan tuhan bila tak ada ikan lagi, sebuah teodisi dari desa, sebuah curahan hati dari mantan nelayan yang sudah memasuki masa pension akibat badan yang sudah tak lagi mampu mencari ikan. Di ujung timur pulau Jawa, saya bertemu seorang kakek yang sangat hebat –saya tidak mengatakan beliau lebih baik derajat atau perilakunya- dan berbeda dari seorang kakek beristri 8 –mohon koreksinya jika saya salah- yang sedang menjadi selebriti baru ujung barat pulau Jawa.

Setelah mendengar jawaban kakek itu, saya mencoba mencari jawaban lain mengenai sebab kerusakan lingkungan itu, sesuatu yang lebih ilmiah dan sesuatu yang memberi jawaban walau harus mengenyampingkan tuhan, sesuatu yang lebih agama-adalah-candu sesuai Marx; dan saya akhirnya mendapatkan jawaban itu –lagi-lagi dari mulut seorang kakek-kakek-. Beliau bilang, bahwa hal ini terjadi karena ikan sudah dihabiskan dan ditangkap -dengan cara yang saya tak begitu paham- oleh nelayan di bagian selatan Jawa yang lain, sehingga membuat ikan tak banyak yang melintasi dan bersua dengan kail nelayan di kawasan Pantai pancer. Dan jangan salah paham dan berpikir bahwa ekosistem di pantai ini sudah rusak karena ulah nelayan, mereka tak pernah menggunakan bom atau alat lain yang bisa menghancurkan lingkungan ikan, setidaknya itu yang mereka katakan.

Masalah lingkungan lain yang muncul adalah adanya perusahaan pertambangan emas yang beroperasi di daerah pantai mereka, dengan omzet yang sangat besar tentunya. Adanya penambangan emas tersebut -tentu menurut mereka- sangat meresahkan mereka, sangat merugikan mereka, dalam banyak aspek mulai dari aspek ekonomi, aspek lingkungan yang semakin rusak karena penambangan itu, dan aspek-aspek lainnya. Mereka sudah melakukan banyak cara agar mendapat solusi terbaik mengenai perusahaan tambang –yang kata seorang pemuda yang mengundang saya minum beer- telah melakukan wan prestasi, atau melenceng dari kontrak yang telah ada dan disepakati sebelumnya.

Mengenai tambang ini, saya tidak akan terlalu menyorot tentang bentuk wan prestasi yang terjadi seperti apa, namun saya akan menyorot dari aspek politik. Kalau sebelumnya saya telah mengangkat tentang istri dari kepala desa, kali ini saya akan berbicara mengenai bapak kepala desa itu sendiri, Pak Purwanto namanya, seorang kades sederhana dan merakyat yang sangat dicintai rakyatnya. Banyak hal yang membuat pak Purwanto ini begitu loveable bagi mereka, yang pertama adalah karena dia adalah orang yang paling lantang dalam menentang perusahaan pertambangan itu, kemudian betapa dia telah banyak berkorban demi kampung tersebut, betapa dia telah membuat banyak perubahan dan perbaikan di kampung tersebut. Maka jangan heran jika ketika dia diadili di Surabaya karena kasus ijazah palsu –yang saya tidak tahu benar tidaknya, yang menurut warga telah dituduhkan dan difitnahkan oleh lawan politiknya yang dibekingi perusahaan tambang tersebut- warga berbondong-bondong dengan menaiki 6 bus dari Banyuwangi menuju Surabaya untuk membela kepala desa mereka yang tercinta, seorang pemimpin teladan bagi mereka, yang semangatnya tak pernah patah –dan mengutip apa yang pernah dikatakan Bapak Soekarno- ibarat rotan, beliau hanya sedang melengkung, tidak patah. Sangat kontradiktif jika dibandingkan dengan RI1 yang dihina dan dikritik rakyat sedemikian rupanya dengan berbagai cara tentunya, sehingga entah karena sudah frustasi atau apa sehingga mengatakan bahwa dia didzalimi dan sejenisnya.

Masalah kedua yang mereka hadapi adalah masalah agraria, masalah pertanahan, tanah dan rumah mereka tentunya. Sekedar info, ketika tsunami 1994 terjadi, daerah Pancer hancur dan 3 hari setelah kejadian, mantan presiden Soeharto mendatangi Pancer, kemudian memerintahkan pembuatan rumah bagi warga, rumah-rumah petak yang merupakan tanah hibah. Kemudian masalah timbul ketika selama 19 tahun ini mereka tak pernah memiliki sertifikat, patok D, ataupun bukti kepemilikan lainnya, padahal banyak dari yang sudah memperbaiki dan membuat rumah mereka jauh lebih bagus daripada rumah petak 19 tahun yang lalu. Dan saat ini mereka sedang mengusahakan kepemilikan sertifikat tanah tersebut, dengan bantuan dari BPN setempat. Barangkali mereka takut kasus penggusuran atau semacamnya yang biasa mereka lihat di televisi juga akan terjadi pada mereka. Mugi-mugi mboten kedaden nggeh, pak, buk.

2 masalah ini adalah 2 masalah utama yang mereka hadapi, disamping kasus-kasus lain seperti kenakalan remaja, kenakalan anak, dan lainnya. Berbagai macam masalah yang dengan pantang menyerah mereka terus berusaha untuk menyelesaikannya. Semangat dan kekompakan yang patut diteladani, sekali lagi, mereka sangat mengagumkan!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun