Mohon tunggu...
Revolusi pikir id
Revolusi pikir id Mohon Tunggu... Guru

Penulis amateur

Selanjutnya

Tutup

Worklife

Perut keroncongan: gen Z lebih baik menganggur daripada bertani

18 Maret 2025   21:31 Diperbarui: 18 Maret 2025   21:31 17
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar tentang petani yang semakin sulit menggarap tanah (gambar dibuat dengan AI)

Kehidupan manusia tak serta-merta indah sesuai dengan ekspektasi. Hidup tak selamanya enak, diberi uang jajan oleh orang tua namun kenyataannya manusia harus berusaha untuk terus hidup entah bekerja atau hanya sebatas berjuang mencari makanan.

Dalam kondisi yang dituntut oleh kebutuhan dapur dan pribadinya maka manusia wajib bekerja untuk syarat sebagai pemenuhan kebutuhan walaupun kenyataannya kerja tak selamanya memenuhi kebutuhan hidup. Setidaknya kalau misalkan kita bekerja, maka kita punya sedikit harapan dsn gak untuk menikmati hidup di hari esok tanpa khawatir tuk makan spa.

Lebih daripada itu, manusia yang terdidik diharapkan membuat lapangan pekerjaan baik dari usaha maupun dari lembaga agar bisa menyerap karyawan. Untuk membuat sebuah lapangan pekerjaan tidaklah semudah yang dibayangkan. Semua penuh dengan usaha dan tantangan apalagi bila hal tersebut mandek gara-gara masalah permodalan baik dari kekurangan modal maupun piutang -utang dari pihak konsumen yang tidak dibayar tepat waktu- yang dihiraukan konsumen dengan berbagai alasan. Permasalahan lainnya adalah kompetensi yang belum cukup matang dan menganggap bahwa usaha sambil belajar itu bisa dilakukan namun nyatanya usaha harus didasari dengan manajemen yang matang dan pemahaman terhadap pasar agar tidak ada kerugian akibat dari ketidakmampuan pengelolaan.

Sebetulnya masyarakat Indonesia tak perlu khawatir dalam sebuah usaha dan pekerjaan karena negara ini adalah negara maritim yang memiliki lahan persawahan dan pertanian yang begitu luas. Tapi memang menjadi hal biasa bila sesuatu sudah diberikan kemudahan, orang akan mencari hal yang lain karena takut disebut kolot dan gajinya tak menentu.

Petani menjadi pekerjaan yang paling dihiraukan oleh generasi muda khususnya di Indonesia karena petani sangatlah jauh dari kata sejahtera dan penuh dengan resiko apalagi pemerintah sangat menghiraukan petani. Pemerintah hanya mengharapkan keuntungan dari berbagai sektor salahsatunya dari import bahan baku karena dengan impor harga bisa lebih murah dan ada jatah persen dari tiap transaksi.
Pemerintah melalui berbagai kementerian menyatakan berbagai dukungan untuk petani Indonesia dengan subsidi berbagai bahan pertanian dan pupuk namun hal tersebut tidaklah efektif. Petani disibukkan dengan berbagai administrasi dan persyaratan yang harus ditempuh dan juga batas pengambilan setiap musimnya yang mengakibatkan sulitnya ekspansi usaha petani apalagi untuk petani gurem -petani yang memiliki sawah kurang dari satu hektar biasanya hasil dari warisan orang tuanya- yang notabenenya hanya mengandalkan pertanian untuk mencukupi kehidupan sehari-hari.

Bila keadaan ini terus dibiarkan terjadi maka kemungkinannya tingkat partisipasi generasi penerus yang bertani akan hilang. Mereka akan lebih memilih menganggur daripada mencari penghidupan di sawah dan ladang karena sulitnya akses dalam mendapatkan kemudahan dalam pertanian seperti benih mahal, pestisida mahal, pupuk mahal dan alat garap Sawah yang sulit didapatkan. Sekiranya ada yang punya alat, biaya sewa nya selangit. Katanya pemerintah menyiapkan alat garap gratis untuk para petani tapi kenyataannya alat tersebut sulit didapat petani karena kenyataannya orang terdekat lah yang mendapatkan alat tersebut walaupun Ia tidak punya basic pertanian

Rencana pemerintah dalam penyaluran pupuk lebih mudah ternyata banyak dimainkan oleh oknum yang hanya mengambil keuntungan untuk dirinya sendiri agar proses pendistribusian yang harusnya satu atau dua jalur menjadi perjalanan panjang dan banyak yang mengambil keuntungan dan pada akhirnya inilah yang didapatkan di negeri ini. Petani makin sulit di temukan, mereka lebih memilih menjual tanahnya pada perusahaan agar bisa mendapatkan uang dengan instan tanpa perlu memikirkan biaya bibit, penggarapan dan pupuk yang sangat membebani petani apalagi bila dalam keadaan gagal atau harga yang anjlok saat panen yang membuat mental dan perekonomian petani makin hancur.

Bersuara dengan tulisan
Create by Zamzam Muzamil
#bersuaradengantulisan

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun