Beberapa hari terakhir banyak ribut-ribut seputar Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang katanya akan dilemahkan oleh lembaga legislatif lewat pengesahan revisi Undang-Undang KPK. Banyak poin disitu yang katanya menghilangkan kewenangan KPK, yang pada akhirnya membuat pekerjaan pemberantasan korupsi akan semakin susah.
Meskipun pernah berkecimpung di dunia auditing, namun bagi orang awam seperti saya, melihat apa yang ada dan yang sudah diputuskan, sepertinya memang ada suatu skenario besar entah itu dari pemerintah sendiri atau para wakil rakyat untuk membatasi kewenangan lembaga anti rasuah yang satu ini.
Mulai dari status KPK yang dimasukan sebagai lembaga pemerintah pusat dengan seluruh pegawainya siberikan status PNS atau ASN, penyidik KPK hanya berasal dari Polri dan PPNS, berkoordinasi dengan Kejaksaan Agung mengenai penuntutan perkara korupsi, pembentukan dewan pengawas yang dipilih DPR hingga izin penyadapan yang harus direstui oleh dewan pengawas dan dibatasi maksimal 3 bulan.
Nah klo itu semua terealisasi, dan misalkan saya ikutan jadi pelaku korupsi dan kira-kira perasaan kagak enak karena kemungkinan lagi disadap, bisa donk mendekat ke dewan pengawan, nanyain kira-kira siapa yang lagi disadap atau KPK lagi ngajuin penyadapan terhadap siapa. Kalau emang kita masuk daftar pengajuan penyadapan, bisa dong kita minta ke dewan pengawas untuk tidak disetujui, kalaupun disetujui, saya sabar-sabar dah minimal 3 bulan biar enggak kena operasi tangkap tangan. Boleh begitu?
Banyak orang juga beranggapan revisi UU KPK kali ini terkesan buru-buru dan tertutup, termasuk dari pimpinan dan wakil pimpinan KPK yang sekarang menjabat. Katanya sih enggak diajak komunikasi, sekalinya mau diajak ketemuan, ternyata si dia dah mau ketuk palu. Jadilah banyak yang menentang dengan menyebut pelemahan KPK ini sudah terstruktur, sistematis dan masif (pinjam istilah yang katanya diciptakan Ibu Gubernur Jawa Timur saat ini, Khififah Indar Parawansa)
...
Sekali lagi, kalau dari kacamata saya yang masih abal-abal, revisi ini sepertinya untuk menekan KPK melalui dewan pengawas. Karena dewan pengawas dibentuk DPR dan harus melapor ke DPR, maka kemungkinan anggota legislatif yang terkena OTT akan berkurang atau bahkan mungkin tidak ada lagi.
Cukup diketahui saja bahwa, sejak tahun 2002 hingga bulan Maret 2019 yang lalu, total ada 72 anggota legislatif yang sudah diproses KPK. Dari data KPK tersebut, menunjukkan 66 dari 72 anggota DPR diproses karena kasus menerima suap. Tentu merupakan angka yang cukup banyak.
...
Nah, untuk yang satu ini, hanya merupakan analisa-analisa kasar saya saja, bahwa upaya yang dikatakan melemahkan KPK ini dikebut setelah rencana perpindahan ibukota dari Jakarta ke Kalimnatan Timur disetujui.
Kenapa? Karena disana akan ada banyak proyek, dan yang jelas pasti melibatkan perputaran uang yang sangat banyak.