Ada peristiwa luar biasa di Posko Koin untuk Prita, di Jalan Taman Margasatwa 6, Jatipadang, Ragunan, Jakarta Selatan, Senin siang sekitar pukul 10.00 WIB. Seorang kakek usia 65 tahun menyerahkan sumbangan Rp.200.000, untuk membantu Prita Mulyasari membayar denda kepada Rumah Sakit Omni Internasional.
Memang, jumlah itu sangatlah kecil dibanding Rp.204 juta yang harus dibayar Prita, sesuai putusan Pengadilan Tinggi Banten. Tetapi, nilainya sungguh tak terkira karena uang Rp.200 ribu terdiri recehan Rp.50 sampai Rp.500 itu, terkumpul dari hampir 100 pemulung yang bermukim di kawasan Srengseng Sawah. Jadi, andai Manajemen RS Omni Internasional kelak menerima pembayaran denda dari tergugatnya, semoga mereka ingat bahwa sebagian uang tersebut adalah perasan keringat para pemulung!
Ketika menyerahkan uang tersebut, Mundala, sang kakek, tak kuasa menahan air mata. Saya yakin, Ia bukan sekedar menangisi nasib Prita karena diperlakukan tidak adil. Namun merupakan ungkapan duka terdalam atas kekacauan praktek hukum di negeri yang katanya berlandaskan Ketuhanan Yang Maha Esa dan Kemanusiaan yang Adil dan Beradab ini.
Uluran tangan hampir 100 pemulung, juga ratusan ribu rakyat di berbagai pelosok daerah yang spontan turut menyumbang, merupakan pertanda bahwa Rakyat semakin tak percaya kepada lembaga peradilan negeri ini. Rakyat jadi kian meyakini ungkapan plesetan singkatan "UUD" sebagai "Ujung-ujungnya Duit" dan "KUHP" sama dengan "Karena Uang Habis Perkara".
Ketidakpercayaan Rakyat terhadap penegakan hukum makin bertambah ketika terungkap banyak kasus penyelesaian hukum yang terkesan hanya berlaku buat wong cilik. Misalnya kasus tiga biji kako yang menimpa Ibu Minah, atau kasus sebiji semangka yang sampai menjerat Basar dan Kholil terancam hukuman lima tahun penjara! Sementara di sisi lain, kasus Bank Century yang berakibat raibnya uang negara lebih dari 6,7 triliun cuma dijadikan wacana dan perang opini.
Percayalah, Rakyat tak akan kaget apabila kelak ribut-ribut kasus Bank Century ini berakhir dengan kesimpulan "tak ditemukan pelanggaran". Sebab, ya itu tadi, sudah kadung tak percaya kepada para petinggi negeri yang hanya pandai bersilat lidah merasionalkan dalih, dan terus-terusan bersandiwara membohongi Rakyat.
Era keterbukaan semakin membuat Rakyat sadar bahwa selama ini mereka hanya dipandang sebagai sekumpulan angka yang dimanipulasi jadi data statistik. Pemanfaatan data disesuai dengan kebutuhan yang lebih sering hanya berorientasi proyek. Saat hendak merancang anggaran pengurangan pengangguran, misalnya, dibuat aneka program agar dana bisa dikucurkan. Lalu, ketika laporan akhir tahun, disebutkan pengangguran menurun. Tapi yang menurun ya cuma angkanya saja, sedangkan penganggur sungguhan tetap saja membludak.
Ketidakseriusan para pengelola negara memajukan Rakyat tercermin dari tingginya kemiskinan dan keterbelakangan yang masih membelenggu mayoritas penduduk negeri ini. Bukti nyata, seringkali acara pemberian santunan selalu diwarnai kekacauan sampai banyak yang pingsan, bahkan mati, karena berebut dapat sumbangan.
Tak susah untuk mengukur tingkat kemiskinan dan keterbelakangan yang kini masih membelenggu mayoritas Rakyat Indonesia. Duduk saja di depan televisi, lalu perhatikan iklan layanan masyarakat berisi pesan cara mengoperasikan kompor gas (sebagai pendukung program konversi dari minyak tanah ke gas). Iklan tersebut mengisyaratkan: jangankan mampu membeli kompos gas, untuk menyalakannya saja masih harus diajari. Duh!!!***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H