Mohon tunggu...
Bung Zamrud
Bung Zamrud Mohon Tunggu... PNS Kementerian Kelautan dan Perikanan -

Menulis adalah bagian dari hidup saya, dengan menulis kita bisa menciptakan sejarah

Selanjutnya

Tutup

Money

Karang Hias dan Implikasi Perdagangannya di Sulawesi Tengah

9 Desember 2015   08:50 Diperbarui: 9 Desember 2015   09:14 66
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Belum lama ini Menteri Kelautan dan Perikanan, Susi Pudjiastuti meminta kepada Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan agar pengelolaan terumbu karang, mangrove, penyu, ikan napoleon dan arwana yang selama ini kewenangannya ada di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan agar dilimpahkan kepada Kementerian Kelautan dan Perikanan sehingga pemanfaatannya dapat terintegrasi secara ekonomi dan lingkungan (sustainable business and living). Tentu sangat logis dan rasional ketika suatu kementerian teknis seperti KKP mengelola sumber daya perikanan negara Republik Indoensia sesuai dengan tugas, wewenang dan tanggung jawabnya. Apa yang disampaikan oleh Susi Pudjiastuti bahwa beliau heran dengan sistem pengelolaan perikanan di negara ini yang tumpang tindih memang benar adanya.

Pada kabinet kerja periode 2014 - 2019, kemandirian ekonomi diwujudkan dengan menggerakkan sektor-sektor strategis ekonomi domestik dimana Kementerian Kelautan dan Perikanan bersama stakeholder terkait akan terus menerus melakukan upaya menggairahkan bisnis ikan hias nasional melalui implementasi lima strategi, yaitu : 1) peningkatan produksi ikan hias sesuai dengan mutu dan standar pasar internasional dengan penerapan prinsip-prinsip Cara Budidaya Ikan Hias yang Baik, 2) penguatan dan pengembangan pemasaran karang hias baik domestik maupun internasional, 3) penelitian dan pengembangan produk dan teknologi budidaya ikan hias, 4) konservasi kawasan dan jenis ikan untuk keberlanjutan sumber daya, dan 5) pengendalian mutu dan perlindungan terhadap hama dan penyakit ikan hias.

KKP akan menjadikan ikan hias sebagai isu strategis nasional, dimana hal ini sejalan dengan program Nawa Cita Jokowi – Jusuf Kalla yaitu meningkatkan produktivitas rakyat dan daya saing di pasar internasional. Salah satu jenis ikan hias yang potensial untuk dikembangkan lebih intensif adalah karang hias. Karang hias sendiri sejatinya merupakan hewan berongga penghasil kapur yang dimanfaatkan sebagai hiasan utama di dalam akuarium laut. Karang hias termasuk biota akuatik yang termasuk ke dalam Appendiks II CITES (Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna dan Flora), dimana dalam perdagangannya harus diawasi secara ketat untuk mencegah kemungkinan terjadinya eksploitasi berlebihan yang dapat mengakibatkan kepunahan.

Dalam tulisan ini, penulis mencoba melakukan brainstorming melalui sebuah kajian akademik bahwa pengelolaan karang hias di Sulawesi Tengah dibangun diatas suatu fondasi yang rapuh dan tidak mensejahterakan masyarakat. Pertanyaannya yang mengemuka sekarang adalah apakah lalu lintas perdagangan karang hias di Sulawesi Tengah telah melalui pengawasan yang cukup ketat dan apakah telah dikaji efektifitas pelaksanaannya di lapangan.

Pertama, izin pengelolaan karang hias masih berada dibawah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan selaku otoritas pengelolaan sedangkan aspek pemanfaatan, pemanfaatan dan perlindungan sumberdaya karang hias berada di bawah domain Kementerian Kelautan dan Perikanan. Hal ini akan menimbulkan masalah ketika izin kuota untuk pelaku bisnis karang hias di daerah diberikan tanpa didahului oleh suatu kajian ilmiah atau rekomendasi oleh otoritas ilmiah dalam hal ini Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).

Selama ini LIPI belum pernah mengkaji status karang hias di Sulawesi Tengah sehingga belum ada data jumlah maupun jenis yang diperbolehkan untuk diambil. Peraturan Menteri Kelautan Nomor 35 tahun 2013 telah mengatur tentang Tata Cara Penetapan Status Perlindungan Jenis Ikan. Dalam pasal 15 disebutkan bahwa penetapan status perlindungan jenis ikan dilakukan melalui prosedur : 1) usulan inisiatif, 2) verifikasi usulan, 3) konsultasi publik, 4) analisis kebijakan, 5) rekomendasi ilmiah, dan 5) penetapan status perlindungan jenis ikan.

Fakta yang terjadi saat ini adalah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan melalui Balai Konservasi Sumber Daya Alam Sulawesi Tengah telah mengeluarkan kuota pengambilan karang hias di Sulawesi Tengah pada tahun 2014 kemarin. Data lalu lintas karang hias yang melalui bandara Mutiara SIS Aljufri Palu dan bandara Syukuran Aminudin Amir Luwuk pada tahun 2015 tidak ada. Hal ini kemudian memunculkan pertanyan publik, bagaimana mungkin kuota diterbitkan sementara data lalu lintas perdagangan karang hias di Sulawesi Tengah tidak ada. Ini berarti dalam implementasinya, penetapan kuota karang hias yang diatur oleh BKSDA tidak pernah berkoordinasi dengan perwakilan Kementerian Kelautan dan Perikanan di daerah, dalam hal ini pihak Karantina Ikan beserta Dinas Kelautan dan Perikanan. Intinya, pemberian kuota kepada pelaku usaha karang hias merupakan kebijakan yang tidak populer dan tidak mensejahterakan rakyat. Mengapa tidak populer ? karena kebijakan ini tidak didukung dengan data ketersediaan stok dan kegiatan monitoring serta survei jumlah karang yang diperbolehkan untuk diambil, sehingga yang terlihat disini lebih pada kepentingan bisnis yang lebih dikedepankan ketimbang kepentingan masyarakat.

Kedua, perdagangan karang hias di Sulawesi Tengah terindikasi dilakukan secara ilegal serta tidak melalui pintu pemasukan dan pengeluaran yang resmi seperti bandara atau pelabuhan laut.. Informasi yang diperoleh penulis bahwa pada umumnya karang hias dikirim melalui jalur darat dengan rute Palu – Makasar, Luwuk – Makkasar, atau Morowali - Makassar. Tentu jalur ini dirasa lebih mudah dan aman karena kurangnya pengawasan petugas perikanan. Di lain sisi, perdagangan yang tidak terkontrol ini menyebabkan tidak ada data lalu lintas karang hias yang keluar dari wilayah Sulawesi Tengah. Sekedar diketahui, terdapat 34 jenis karang hias yang termasuk dalam Appendiks II CITES terdapat di Sulawesi Tengah dan sebagian besar habitatnya di Teluk Tomini dan Teluk Tolo. Beberapa diantaranya adalah jenis Acropora spp, Montipora spp, Cataphyllia jardinei, Euphyllia glabrescens, dan Favites abdita.

Ketiga, pengambilan karang hias di alam masih menggunakan cara-cara yang tidak ramah lingkungan. Idealnya, karang yang diambil ditransplantasikan terlebih dahulu untuk menumbuhkan anakan karang yang nantinya akan dipanen oleh breeder. Akan tetapi, dalam prakteknya yang terjadi adalah pengambilan dengan cara yang merusak lingkungan dan berlangsung secara masif. Apabila hal ini dibiarkan terus menerus, maka akan mengancam kelestarian dan keberlanjutan ekosistem perairan laut secara umum dan menimbulkan pemanasan global.

Untuk menanggulangi semakin menurunnya populasi, diperlukan suatu upaya positif termasuk dalam pengawasan perdagangan karang hias sebagai biota akuatik potensial Sulawesi Tengah dalam menambah devisa negara. Sebagai penutup, penulis ingin menyampaikan pesan bahwa perdagangan karang hias harus mempertimbangkan dua aspek yaitu aspek ekonomi dan aspek ekologi yang berjalan diametral. Begitupun dengan semua kebijakan yang diambil harus bisa dijelaskan secara transparan ke publik, dan kekuatan untuk melakukan harmonisasi, sinkronisasi, koordinasi dan integrasi aturan dengan instansi terkait agar tidak tumpang tindih dan menyalahkan satu sama lain sehingga kita bisa mengelola sumber daya ikan hias secara terencana dan berkelanjutan.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun