Seiring dengan visi kabinet kerja Joko Widodo – Jusuf Kalla yaitu menjadikan Indonesia sebagai poros maritim dunia, penegasan jatidiri sebagai negara kepulauan dilakukan melalui penegakan kedaulatan dan yurisdiksi nasional berbasis maritim. Salah satu arah kebijakan yang dilakukan adalah membangun konektivitas nasional yang dikenal dengan konsep tol laut. Ruh dari konsep tol laut adalah adanya upaya keseimbangan antara transportasi yang berorientasi nasional dengan transportasi yang berorientasi lokal kewilayahan dengan membangun sistem transportasi multimoda. Kita ketahui bahwa pelabuhan merupakan pintu keluar masuk arus barang sehingga perlu tata kelola kepelabuhanan yang lebih baik, tentunya dengan dukungan penguatan kelembagaan sebagai support system.
Belum lama ini, Menteri Koordinator Bidang Maritim, Indroyono Soesilo memimpin rapat koordinasi tentang tata kelola pelabuhan laut dan salah satu rekomendasi kesepakatan yang dihasilkan adalah peningkatan status badan karantina menjadi badan nasional yang mandiri. Alasan penggabungan karantina disebabkan lamanya waktu tunggu layanan (dwelling time) di daerah pabean, khususnya pada kegiatan bongkar muat barang di pelabuhan sehingga dapat menyebabkan pelayanan publik menjadi terhambat. Waktu bongkar muat yang lama menyebabkan pembengkakan biaya logistik yang sangat besar sehingga pemerintah berencana untuk menurunkan waktu layanan dari 8 hari menjadi 4,7 hari mulai dari pre clearance, custom clearance sampai post clearance. Integrasi kelembagaan karantina diyakini mampu mempercepat waktu layanan menjadi lebih pendek karena sistem yang berjalan online dalam Indonesian National Single Window (INSW) selama ini masih memisahkan nomenklatur komoditi perikanan dan komoditi pertanian dalam database yang berbeda. Diharapkan dengan penyatuan ini, kegiatan bongkar muat di pelabuhan menjadi tidak terkendala dan tidak membutuhkan waktu berhari-hari.
Transformasi Kelembagaan
Mencermati wacana tentang pembentukan badan karantina nasional, tentulah harus disikapi secara objektif dan rasional. Adanya pra kondisi yang tercipta pada masa transisi sebelum terjadi transformasi kelembagaan harus dipersiapkan secara matang dan terencana. Arus opini yang berkembang saat ini adalah bahwa penggabungan tersebut akan menyatukan beberapa institusi seperti karantina pertanian dan karantina ikan. Dengan memakai logika sederhana, penyatuan kelembagaan ini merupakan bentuk penyederhanaan regulasi untuk mewujudkan ketertiban dan kepastian hukum bagi masyarakat.
Naskah akademis untuk mengkaji penggabungan karantina ini telah disiapkan dan diharapkan bisa mendukung program Nawa Cita Jokowi – Jusuf Kalla. Instrumentasi hukum yang menjadi payung pelaksanaan adalah Undang Undang Nomor 16 tahun 1992 tentang Karantina Hewan, Ikan dan Tumbuhan yang rencananya akan direvisi. Revisi ini masuk ke dalam salah satu program legislasi nasional di tahun 2015. Tentu hal ini menjadi kabar yang menggembirakan karena UU Nomor 16 tahun 1992 secara substansial sudah tidak relevan dengan perkembangan zaman dan tidak lagi memuat hal-hal yang mutakhir.
Beberapa substansi yang diatur dalam ketentuan ini sulit dilaksanakan karena sudah tidak sesuai dengan kondisi kekinian dimana klausul yang termaktub dalam pasal-pasal tidak cukup memberikan ruang untuk precautionary treatment. Belum lagi dengan ketentuan tentang sanksi yang dianggap tidak bisa memberikan efek jera bagi yang melanggar karena terlalu kecilnya masa hukuman dan nilai denda dibandingkan kerugian yang ditimbulkan akibat adanya pelanggaran masuk dan tersebarnya hama penyakit hewan, ikan dan organisme pengganggu tumbuhan di wilayah Indonesia. Peraturan perkarantinaan yang ada belum terintegrasi dan komprehensif sehingga belum memberikan jaminan bagi keberlangsungan keamanan nasional di bidang sumber daya alam termasuk keanekaragaman hayati di darat, udara dan laut.
Fakta yang berkembang sekarang adalah masuknya beberapa spesies asing yang bersifat invasif yang dapat berdampak negatif pada ekosistem dan spesies endemik yang ada di kawasan tertentu di Indonesia. Maraknya perdagangan spesies yang tidak diketahui asal usulnya dapat menjadi ancaman bagi penularan penyakit baru. Selain itu, perlu adanya klausul dalam undang-undang karantina yang menyangkut pentingnya penyadaran pada tingkat masyarakat sebagai pengguna langsung jasa spesies yang masuk melalui kegiatan impor.
Mimpi besar kita semua untuk menjadi badan karantina nasional dihadapkan pada beberapa skenario. Pertama, isu penggabungan karantina ini bukan merupakan isu yang seksi sehingga percepatan penggabungan kelembagaan negara menjadi prioritas sekunder karena tidak menyangkut domain konstituen dari wakil rakyat. Sejak tahun 2006 isu ini mulai bergema tetapi kemudian meredup lagi. Jika kemudian skenario penggabungan kelembagaan ini berhasil, maka akan dibuat nomenklatur kelembagaan setingkat kementerian. Tentu, karena isu dwelling time lebih dikedepankan maka penggabungan karantina menjadi isu sekunder yang harus dipertimbangkan baik secara hukum maupun politik. Kalaupun akan terjadi penggabungan, maka dipastikan akan terjadi tawar menawar yang cukup alot untuk menggolkan isu ini.
Kedua, dalam konteks keamanan pangan, pembentukan badan karantina nasional akan memberikan jaminan terhadap perdagangan produk pangan Indonesia yang memasuki pasar internasional maupun produk pangan luar yang masuk ke Indonesia sesuai dengan standar Sanitary and Phytosanitary (SPS) maupun Codex Alimentarius (CA). Sanitary berkaitan dengan kesehatan hewan dan produk hewan yang berkaitan antara lain dengan pelaksanaan tindakan karantina hewan. Phytosanitary berhubungan dengan kesehatan tumbuhan yang berkaitan dengan antara lain dengan pelaksanaan tindakan karantina tumbuhan. Adapun keamanan pangan berhubungan cemaran-cemaran biologis, kimia dan benda lain yang terbawa oleh pangan yang dapat mengganggu dan membahayakan kesehatan manusia.
Undang –Undang Nomor 18 tahun 2012 tentang Pangan telah menekankan tentang ketahanan pangan, kemandirian pangan dan kedaulatan pangan. Kedaulatan pangan dapat dicapai bila pemerintah secara mandiri menentukan kebijakan pangan yang mampu menjamin hak-hak rakyat untuk menentukan sistem pangan yang sesuai dengan potensi sumber daya lokal. Peran badan karantina nasional nantinya di sektor hilir menjadi strategis mengingat salah satu kebijakan pangan adalah pengendalian importasi produk pangan dari luar melalui pemberantasan mafia impor. Khusus untuk sektor perikanan, pengendalian impor produk perikanan telah diperkuat dengan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 46 tahun 2014 tentang Pengendalian Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan yang Masuk ke Dalam Wilayah Negara Republik Indonesia.Hal ini dilakukan untuk menjamin keamanan hasil perikanan yang masuk sehingga aman dikonsumsi dan tidak membahayakan kelestarian sumber daya ikan dan lingkungan.
Dalam implementasinya, tentu tidak semudah membalikkan telapak tangan. Harmonisasi dan sinkronisasi aturan diperlukan untuk menyelaraskan instrumen hukum yang berada di Kementerian Pertanian maupun Kementerian Kelautan dan Perikanan pasca penggabungan karantina. Domain karantina di wilayah pabean (pelabuhan laut dan bandara) tidak bisa diintervensi oleh kementerian teknis dalam mengeluarkan suatu produk kebijakan publik yang bersinggungan dengan tugas dan fungsi karantina. Pemerintah selaku pembuat kebijakan publik harus kembali menyesuaikan aturan yang telah dibuat dan menstandarkan dengan kebijakan karantina yang menganut standar OIE, FAO dan WHO. Memang tidak bisa dipungkiri bahwa penggabungan karantina merupakan mimpi besar kita yang diharapkan bisa menjadi nyata dengan dukungan, optimisme dan kerja keras dari kita semua. Diperlukan niat baik dan komitmen yang teguh untuk melaksanakannnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H