Mohon tunggu...
Bung Zamrud
Bung Zamrud Mohon Tunggu... PNS Kementerian Kelautan dan Perikanan -

Menulis adalah bagian dari hidup saya, dengan menulis kita bisa menciptakan sejarah

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Analisa Resiko Penyakit Ikan di Kota Palu dalam Bingkai Kawasan Ekonomi Khusus

10 Maret 2014   18:38 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:05 263
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pemerintah telah menetapkan Palu menjadi Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) tahun 2013 lalu berdasarkan hasil evaluasi oleh Kementerian Koordinator bidang Perekonomian selaku Ketua Dewan Nasional KEK dimana Palu telah melengkapi persyaratan teknis dan administrasi. Ini merupakan suatu kebanggan dan prestasi tersendiri sekaligus merupakan tantangan yang harus bisa dikelola menjadi peluang oleh stakeholder lokal. Dalam kesempatan ini, penulis mencoba melakukan brainstorming tentang pengelolaan resiko (risk management) terkait penyakit ikan di kota Palu seiring dengan kesiapan menyongsong KEK, tentunya akan menjadi sesuatu yang debatable dan mengundang analisis wacana yang beragam serta dilandasi dengan dialektika pemikiran dan pisau analisis yang kuat.

Kawasan Ekonomi Khusus yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 39 tahun 2009 merupakan inisiasi pemerintah untuk mempercepat pengembangan ekonomi di wilayah tertentu yang bersifat strategis bagi pengembangan ekonomi nasional dan untuk menjaga keseimbangan kemajuan suatu daerah dalam kesatuan ekonomi nasional. Pengembangan KEK dilakukan melalui penyiapan kawasan yang memiliki keunggulan geoekonomi dan geostrategi serta berfungsi untuk menampung kegiatan industri, ekspor, impor dan kegiatan ekonomi lain yang memiliki nilai ekonomi tinggi dan daya saing internasional. Zona pemanfaatan dalam KEK salah satunya adalah pengolahan ekspor dan potensi sumber daya alam yang layak untuk diekspor keluar Sulawesi Tengah diantaranya adalah ikan laut yang diharapkan menunjang program ketahanan pangan dan industrialisasi perikanan.

Keberadaan Palu sebagai terminal investasi hasil perikanan mencatat kemajuan yang cukup signifikan, terbukti dengan teregistrasinya beberapa Unit Pengolahan Ikan (UPI) di negara tujuan seperti Kanada, Rusia dan Uni Eropa. Kondisi ini juga semakin membuka keran investasi di sektor perikanan seiring dengan ketersediaan bahan baku ikan dan regulasi yang menyehatkan. Di sisi lain, peningkatan arus lalu lintas komoditi perikanan baik berupa ekspor, impor, domestik keluar dan domestik masuk berpotensi memperbesar peluang kemungkinan masuk dan tersebarnya Hama Penyakit Ikan Karantina (HPIK) dan merupakan ancaman yang dapat membahayakan kelestarian sumber daya alam hayati ikan di kota Palu khususnya dan propinsi Sulawesi Tengah pada umumnya.

Pertanyaannya adalah apakah kedepannya nanti ekspor hasil perikanan melalui KEK telah melalui kajian resiko penyakit ikan yang sistematis dan ilmiah, disinilah kita akan menemukan titik singgungnya. Pihak karantina ikan mempunyai peranan yang strategis dalam melindungi negara dari ancaman masuk, keluar dan tersebarnya HPIK yang berpotensi untuk merusak kelestarian sumberdaya hayati yang pada gilirannya akan mengganggu produksi perikanan nasional. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 16 tahun 1992 dan Peraturan Pemerintah Nomor 15 tahun 2002, dijelaskan bahwa instansi karantina ikan bertanggung jawab terhadap masuk dan tersebarnya HPIK ke dan di dalam wilayah Republik Indonesia serta mencegah keluarnya Hama Penyakit Ikan (HPI) dari dalam wilayah Republik Indonesia apabila dipersyaratkan oleh negara tujuan. Pencegahan HPIK dengan cara memberlakukan tindakan karantina terhadap komoditi perikanan yang dilalulintaskan yang mengacu pada standar internasional sebagaimana yang diatur dalam General Agreement on Tarif and Trade – World Trade Organization (GATT-WTO) yang telah diratifikasi oleh Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 7 tahun 1994 khususnya tentang Sanitary and Phytosanitary Agreement, agar tidak dianggap sebagai faktor penghambat teknis atau proteksi terselubung dalam perdagangan bebas.

Pelaksanaan tindakan karantina dengan tujuan pencegahan HPIK akan terlaksana secara cepat, tepat dan efisien apabila pertimbangan dilakukan dengan menggunakan analisis resiko berbasis ilmiah yang transparan melalui komunikasi dengan stakeholder. Menurut Rodgers (2001) dalam Risk Analysis in Aquatic Animal Health menyatakan bahwa analisis resiko terdiri atas empat komponen utama yaitu : identifikasi bahaya, penilaian resiko, manajemen resiko dan komunikasi resiko. Sejatinya, dengan penerapan analisis resiko yang benar maka kebijakan operasional perkarantinaan ikan dapat diharmonisasikan dengan baik tanpa khawatir adanya tuntutan dari pihak lain yang tidak berazas kebenaran dan menjamin kesehatan ikan pada level perdagangan internasional.

Identifikasi bahaya (hazard identification) merupakan proses pengidentifikasian HPI yang berpotensi terbawa masuk ke suatu wilayah atau negara, keluar ataupun dilalulintaskan antar area yang berpotensi menimbulkan kerugian ekonomi melalui pengumpulan data yang ada di negara pengekspor maupun yang berasal dari kajian pustaka. Khusus untuk kota Palu, perlu membuat daftar penyakit ikan yang diwaspadai antara lain Early Mortality Syndrome (EMS) yang menyerang pada udang vanamei ataupun jenis-jenis bakteri HPIK seperti Edwardsiella tarda dan Aeromonas salmonicida. Selain itu, masalah mutu yang perlu menjadi perhatian adalah jenis-jenis bakteri yang menyebabkan kemunduran mutu produk perikanan yaitu Salmonella sp dan E.coli.

Penilaian resiko merupakan proses penilaian terhadap peluang masuk dan menyebarnya HPI beserta konsekuensi yang berkaitan dengan kelestarian sumber daya ikan. Penilaian dilakukan terhadap sembilan kriteria dengan melalui referensi acuan. Untuk menentukan status setiap potensi HPIK dilakukan pendekatan skoring secara kuantitatif dimana hasil skoring dikelompokkan menjadi tiga tingkatan resiko, yaitu resiko rendah, resiko sedang dan resiko tinggi berdasarkan petunjuk dari OIE (2010). Kategorisasi resiko juga menunjukkan apakah komoditi perikanan tersebut dibudidayakan secara luas, secara terbatas atau tidak dibudidayakan.

Manajemen resiko merupakan proses pengambilan keputusan dan pelaksanaan langkah-langkah penerapan berbagai alternatif kebijakan teknis yang dapat dilaksanakan hingga tingkat operasional dalam upaya pencegahan introduksi HPI sebagai hasil dari penilaian resiko. Tujuan manajemen resiko adalah untuk mengelola resiko secara tepat dan memastikan bahwa keseimbangan tercapai antara keinginan masing-masing negara untuk meminimalkan frekuensi serangan penyakit sebagaimana tercantum dalam OIE Aquatic Animal Health Code (2010) Article 2.2.5. Manajemen resiko diperlukan sebagai strategi pengelolaan resiko, yang meliputi pre-quarantine, in-quarantine dan post-quarantine. Tindakan pre-quarantine merupakan pelaksanaan tindakan karantina di negara pengekspor atau dapat dilakukan di negara ketiga, in-quarantine merupakan pelaksanaan tindakan pemeriksaan hingga pelepasan yang dilakukan di pintu pemasukan,seperti di bandara dan pelabuhan laut. Sementara tindakan post quarantine adalah strategisebagai tindakan monitoring terhadap komoditi perikanan yang telah dilepas tetapi masih dilakukan pemantauan dan kaji ulang.

Komunikasi resiko pada intinya merupakan proses pengumpulan informasi dan opini mengenai bahaya dan resiko dari semua pihak yang terkait dalam analisa ekspor dan impor yang bertujuan untuk memberitahukan dan mengikutsertakan semua pihak terkait mengenai pelaksanaan Analisis Resiko Hama Penyakit Ikan (ARHPI), baik pada tahapan identifikasi bahaya, pengkajian resiko, maupun pengelolaan resiko. Komunikasi resiko harus bersifat terbuka, interaktif dan transparan. Sebelum penerapan ARHPI, draft ARHPI disampaikan ke negara asal komoditi perikanan sebelum kegiatan pemasukan dilakukan untuk dipahami dan dilaksanakan oleh kedua negara. Ini dipandang perlu untuk memberi kesempatan kepada negara pengekspor melakukan kajian konsep ARHPI, sekaligus mendapat masukan persyaratan teknis dan tindakan karantina yang harus dipenuhi.

Memang tidak bisa dipungkiri bahwa pencapaian target produksi perikanan melalui kebijakan industrialisasi kelautan dan perikanan bukanlah sesuatu yang ringan karena memerlukan dukungan, partisipasi dan kerja keras dari semua pihak. Hal ini menjadi mimpi besar kita semua untuk mewujudkan masyarakat perikanan yang sejahtera dengan dilandasi dengan niat luhur kita semua bahwa apa yang kita lakukan adalah sebagai amal bakti untuk kemakmuran rakyat dan bangsa. Sesuai dengan visi Sulawesi Tengah 2011 - 2016 yaitu "Sulawesi Tengah sejajar dengan propinsi maju di Kawasan Timur Indonesia dalam pengembangan agribisnis dan kelautan melalui kualitas sumber daya manusia yang berdaya saing pada tahun 2020" kita patut berbangga hati namun diperlukan niat yang baik dan komitmen yang teguh untuk melaksanakannnya. Semoga. (Moh. Zamrud).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun