Setamat aliyah aku ingin kuliah. Tak tanggung2 jurusan yang ku bidik adalah Hubungan Internasional (HI) di UGM dan Unair. Motivasiku ingin menjadi diplomat yg bekerja di luar negeri (muluk sekali ya? Hehe…). Ternyata itu semua hanya mimipi. Tes UMPTN yang ku jalani tidak lulus. Aku kecewa berat.
Aku memang tidak seperti saudara2, terutama mbakku, yang sepanjang jenjang pendidikannya berjalan mulus dan berprestasi. Jenjang pendidikanku bisa dibilang GATOT alias gagal total. Meski meraih DANEM tertinggi di sekolah sewaktu masih madrasah, tidak bisa membawaku ke sekolah negeri. Ironisnya teman yg berprediket runner up malah bisa masuk ke SMP negeri favorit.
Waktu ikut daftar di SMA negeri juga begitu. Gagal lagi. Rasa kecewa dan malu itu menumpuk jadi. Hari2 menjalani sekolah menjadi biasa saja, kurang greget dan motivasi. Lebih2 teman yg selama itu menjadi pesaing sudah pada pindah sekolah.
Angan2 kuliah di universitas negeri yg bonafit, terpaksa harus disingkirkan. Gagal di UMPTN itu benar2 membuat aku makin terpuruk. Sempat terpikir untuk tidak kuliah, namun berubah tatkala membaca iklan di Koran mengenai sekolah kewartawanan.
Nalarku seketika muncul. Bukankah HI, jurusan yang kuambil sewaktu mengikuti UMPTN adalah agar diriku nantinya bisa keluar negeri dan keliling dunia? Kalau sekarang ada sekolah wartawan kenapa tidak? Bukankah wartawan itu kerjanya keluyuran tapi di bayar? Haha….klop banget dg misiku.
Jadilah aku kuliah di Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi Massa- Almamater Wartawan Surabaya (STIKOSA-AWS). Tidak seperti Fajar (Arifianto Isnu Nugroho) yg sekarang menjabat sebagai ketua KPI pusat. Atau Bedjan yg pimred jeteng post atau pula M. Subhan yg gigih bersepeda pancal ke kampus yg kini sbg redaktur Aula. Di kampus aku biasa saja. Tidak aktif seperti mereka. Berbagai aktivitas kampuspun jarang yg ku ikuti. Disana aku malah banyak kongkow2 dibanding belajarnya.
Di semester VI ada lowongan di harian sore Surabaya Post (SP). Kesempatan ini tak kusia2kan. Surat cuti kuliah kubuat dan kuajukan lamaran. Di terima. Di SP ini naluri keluyuranku seperti mendapat wadah. Jam kerja yg mestinya selesai pukul 5 sore dan pulang tak ku gubris. Aku tidak pulang tapi menginap dikantor. Bukan satu dua hari tapi sepekan, senin hingga jumat.
Beberapa senior menganggap aku punya dedikasi tinggi terhadap pekerjaan. Dan terbukti aku terbilang rajin kirim berita. Tidak hanya berita yg di instruksikan melainkan juga berita2 feature yg yg kutemui sepanjang perjalanan. Aku terkenal. Pekerja baru tapi paling lama di kantor.
Jika boleh jujur, alasan utama aku menginap dikantor bukanlah masalah kinerja. Melainkan lebih pada penghematan. Uang transport yg disediakan perusahaan waktu itu hanya 7500/perhari. Jelas tidak cukup untuk biaya hunting berita. Onkos lyn saja 3500 sekali naik (belum punya motor, hehe…) apalagi untuk biaya pulang ke gresik.
Semua itu tidak membuat aku gundah. Justru sebaliknya, aku menikmati. Bila malam, aku bisa mengakses internet sepuasnya. Koneksi internet kala itu benar2 barang mewah, tidak mbludak seperti sekarang. Enaknya lagi aku bisa bebas menulis berita/feature langsung di computer induk tanpa harus menulis dulu di hard disk.
Bila tulisanku di muat, ada fee untuk itu. Makin besar space untuk tulisanku makin besar pula fee yg kuterima,-apalagi masuk dihalaman depan. Setiap tulisanku yang di muat tak lupa ku kliping. (biasanya sembunyi2) kuambil Koran yg terpampang di rak kayu, kemudian ku gunting. Sekedar untuk kenang2an diri juga buat ayah di rumah agar makin bangga. Dan sesungguhnya ayah benar2 bangga dg prestasiku itu.
Mei 1997, mimpi indah itu akhirnya berakhir. Krismon datang. Semua industry klimpungan tak terkecuali Koran SP. Jumlah halaman dan ukuran Koran dikurangi. Ujung2nya aku dan seangkatan harus segera hengkang. Masa indah selama 3,5 bulan itu buyar meninggalkan angan yang tak tercapai. (bersambung….)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H