Sejak diberlakukannya BPJS Kesehatan pada 1 Januari 2014, pelayanan kesehatan dari BPJS memiliki tujuan dasar sebagai pemberi manfaat terhadap seluruh peserta yang terlibat didalamnya. Baik dalam hal pelaksanaan, pelayanan kesehatan, maupun pengelolahan keuangan BPJS. Namun pada praktiknya, adanya pandangan bahwa tidak selalu didapati aktivitas yang sesuai dengan prinsip ekonomi syariah misalnya masih terdapat unsur gharar (ketidakjelasan), riba (tambahan), maupun maisir (perjudian), menjadi sebuah permasalahan bagi keberlangsungan BPJS Kesehatan sendiri, mengingat mayoritas masyarakat Indonesia merupakan negara berpenduduk muslim hal ini menjadi salah satu faktor penting yang harus diluruskan.
Oleh karena itu, penulis ingin mengupas beberapa pendapat penting yang berkaitan dengan status pelayanan BPJS Kesehatan dalam pandangan ekonomi syariah. Pertama, Pernyataan MUI berdasarkan Fatwa DSN-MUI NO: 98/DSN-MUI/XII/2015 TERHADAP TRANSAKSI DALAM BPJS KESEHATAN. Ijtima Ulama fatwa MUI V Tahun 2015 menyimpulkan bahwa, “Penyelenggaraan jaminan sosial oleh BPJS tidak sesuai dengan prinsip syariah karena mengandung unsur gharar, maisir dan riba.” Jadi, terkait asuransi BPJS kesehatan fatwa DSN menggarisbawahi bahwa asuransi tersebut syariah terlepas dari unsur gharar (penipuan), maisir (perjudian), riba (tambahan), zhulm (penganiayaan), risywah (suap), barang haram dan maksiat. Disamping itu, fatwa keharaman dari MUI ini dapat menjadi pengecualian karena meninjau tingkat kebutuhan masyarakat yang cukup tinggi terhadap BPJS Kesehatan.
Berbeda dengan fatwa MUI dalam menyikapi asuransi syariah, dalam bagian pertama fatwa DSN No.21 / DSN-MUI / X / 2001 mengenai Ketentuan Umum angka I disebutkan “Pengertian asuransi syariah (ta’min, takaful, atau tadhamun) adalah usaha saling tolong menolong dan melindungi antara sejumlah orang/pihak melalui investasi dalam bentuk aset atau tabarru’ yang memberikan pola pengembalian untuk menghadapi risiko tertentu melalui akad yang sesuai dengan syari’ah.” Kelebihan dalam asuransi syariah berupa adanya kontrak takafuli antara sesama nasabah dalam menghadapi kesulitan, sedangkan dalam asuransi konvensional diterapkannya tabaduli atau diartikan dengan kontrak jual beli. Selain itu, dalam asuransi syariah dikenal dengan risk sharing (saling berbagi risiko), dan dalam asuransi konvensional terdapat risk transferring (transfer risiko) dari nasabah terhadap perusahaan asuransi.
Kedua, Pendapat lain diambil dari Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) yang dinyatakan dalam Komisi Bahtsul Masail Waqi’iyah (masalah terkini) dalam Mukhtamar ke-33 2015 memberikan pernyataan bahwa memperbolehkan serta menerima adanya BPJS Kesehatan. Dalam pernyataan PBNU ini diyakini bahwa BPJS Kesehatan digolongkan dalam rana konsep Syirkah Ta’awwun dan bersifat gotong royong. Sehingga pembayaran disini dapat dianggap sebagai bentuk sedekah, upaya pemberian dan saling meringankan sesama. Maka dari itu, tentunya dari awal akad peserta BPJS kesehatan diharapkan telah diberikan edukasi mengenai konsep ini. Peserta haruslah rela dan ikhlas dalam membayar iuran dan bergotong royong, agar dapat meringankan beban peserta lain yang sedang sakit.
Selain dari adanya kedua fatwa tersebut, penulis akan menambahkanan satu unsur hukum dalam fiqh yang dapat membenarkan pelaksanaan BPJS kesehatan yakni ‘Urf. ‘Urf merupakan suatu yang berlaku pada kebanyakan orang, yang di pandang baik oleh masyarakat, serta dapat di terima akal sehat. Maslahah atau unsur kemanfaaatan yang berorientasi pada kepentingan umum dapat digunakan sebagai standar untuk menerima ‘Urf. ‘Urf juga diikuti oleh para ulama besar ahli fiqh yang diakui, seperti hanafiah, maikiyah, dan hanabilah, sedangkan dalam syafi’iyah tidak dijumpai ‘Urf sebagai salah satu dalil penetapan hukum. Namun adanya qawl qadim dan jadid merupakan fenomena yang menunjukkan adanya pengaruh ‘Urf. ‘
Urf dapat diterima sebagai dalil dalam kasus BPJS Kesehatan, kecuali dalam hal yang memang bertentangan dengan syariah seperti unsur-unsur yang telah disebutkan dalam fatwa DSN MUI sebelumnya yang berkaitan dengan riba. Sedangkan dalam hal kemanfaatan, Jaminan BPJS Kesehatan menurut UU SJSN (Sistem Jaminan Sosial Nasional) diselenggarakan secara nasional berdasarkan prinsip asuransi sosial dan prinsip ekuitas, dengan tujuan menjamin agar peserta memperoleh manfaat pemeliharaan kesehatan dan perlindungan dalam memenuhi kebutuhan dasar kesehatan. Klaim BPJS Kesehatan juga terbilang lebih mudah diambil dari pada asuransi lainnya. Ini menunjukan keseriusan BPJS Kesehatan dan pemerintahan dalam memberikan pelayanan kesehatannya terhadap seluruh masyarakat di Indonesia.
Kesimpulan dari tulisan ini, bahwa pelaksanaan BPJS Kesehatan dalam pandangan ekonomi syariah tidak selamanya dilarang. Bahkan ada beberapa pendekatan yang memperbolehkan praktik pelaksanaannya, selama tidak melanggar unsur-unsur yang tidak sesuai dengan prinsip syariah. Utamanya dalam hal kemaslahatan bersama BPJS Kesehatan dinilai dapat membantu kesejahteraan kesehatan masyarakat. Selebihnya, meninjau beberapa bagian yang masih abu-abu dalam pandangan syariah, pemerintah dan BPJS Kesehatan akan terus meningkatkan proses pelaksanaan pelayanan kesehatan dan pengelolohan dana JKN sesuai dengan prinsip Ekonomi Syariah.
Semoga tulisan ini dapat menjadi sedikit tambahan informasi bagi teman-teman sekalian. Harapan baik untuk program-program sosial kemasyarakatan agar dapat mewujudkan kesejahteraan dan pemerataan ekonomi berlandaskan syariah tanpa adanya kesenjangan sosial untuk kemajuan Indonesia tercinta.
Sekian Terimakasih
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H