Mohon tunggu...
Zamila Dwi Septiani
Zamila Dwi Septiani Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa bahasa dan sastra Indonesia

Saat menulis, aku tak suka titik. Aku gemar tanda koma. Tolong jangan perintahkan aku untuk berhenti dan tenggelam dalam stagnansi. - Leila S. Chudori

Selanjutnya

Tutup

Book Pilihan

Suara Rakyat dalam Cerpen "Corat-Coret di Toilet" Karya Eka Kurniawan

22 Desember 2023   06:20 Diperbarui: 22 Desember 2023   06:39 224
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Menurut Sumardjo, karya sastra adalah sebuah usaha merekam isi jiwa sastrawan nya, rekaman ini menggunakan alat bahasa. Sasrta adalah bentuk rekaman dengan bahasa yang akan disampaikan kepada orang lain.sastra adalah seni bahasa. Yang memiliki makna, lahirnya sebuah karya sastra adalah untuk dinikmati diri sendiri atau juga untuk dapat dinikmati oleh siapa saja yang membacanya. Untuk dapat meulis dan menikmati karya sastra secara sungguh-sugguh dan karya yang baik sangat diperlukan pengetahuan tentang sastra. Tanpa pengetahuan tentang sastra yang cukup, penikmatan akan sebuah karya sastra hanya bersifat dangkal, sementara dan sepintas saja karena kurangnya pemahaman yang tepat. Sangat diperlukan pengetahuan akan sastra karena agar semua orang tahu apa yang dimaksud dengan sastra. Karya sastra bukanlah ilmu, karya sastra adalah seni yang memiliki unsur kemanusiaan di dalamnya, khususnya perasaan sehingga sangat susah diterapkan untuk metode keilmuan.

Siapa yang tidak mengenal Eka Kurniawan? Eka Kurniawan adalah salah satu sastrawan Indonesia yang mulai menggemparkan kancah internasional atas novel yang telah ditulisnya. Novel itu berjudul Cantik Itu Luka. Atas ide dan keseriusan mengemas cerita, novel tersebut berhasil menembus penghargaan World Reader's Award 2016 yang diselenggarakan di Hongkong. Penghargaan itu pun menjembatani buku-bukunya untuk diterbitkan di tiga negara Eropa, yaitu Jerman, Polandia, dan Norwegia. Tidak hanya itu, 30 negara lainnya ikut menerjemahkan novel yang dirilis pada tahun 2002 itu.

Karyanya yang lain adalah dua jilid kumpulan cerita pendek berjudul Cinta tak Ada Mati (Gramedia Pustaka Utama, 2005), dan Gelak Sedih (Gramedia Pustaka Utama, 2005, di dalamnya termasuk kumpulan cerita pendek Corat-coret di Toilet). Beberapa cerita pendeknya telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dan Swedia. Pada tahun 2014 Eka kembali mengeluarkan novel yang berjudul Seperti Dendam Rindu Harus Dibayar Tuntas, dan di awal tahun 2015 ini, buku kumpulan cerpennya yang berjudul Perempuan Patah Hati yang Kembali Menemukan Cinta Melalui Mimpi dirilis. Kini tinggal di Jakarta bersama istrinya, penulis Ratih Kumala.

Cerita pendek atau yang biasa disingkat cerpen adalah sebuah karya sastra yang berbentuk prosa. Cerpen dapat menampilkan persoalan manusia dengan liku-liku kehidupannya. Menurut Nurgiantoro (1995), karena bentuknya yang pendek, cerpen menuntut penceritaan yang serba ringkas, tidak sampai pada detil-detil khusus yang kurang penting yang lebih bersifat memperpanjang cerita.

Sebuah cerpen mempunyai nilai yang ingin disampaikan oleh pengarangnya. Nilai dirasakan dalam diri masing-masing sebagai daya pendorong atau prinsip-prinsip, yang menjadi pedoman dalam hidup (Kaswardi, 1993). Nilai kejujuran yang ada dalam cerpen juga memiliki kekuatan untuk menjadikan pembacanya mempunyai prinsip yang benar ketika pembaca mampu menemukan nilai kejujuran dalam cerpen tersebut.

Corat-Coret di Toilet adalah buku kumpulan cerpen karya Eka Kurniawan. Buku ini diterbitkan pertama kali oleh Yayasan Aksara Indonesia sekitar tahun 2000 dan berisi sepuluh cerpen, lalu diterbitkan ulang oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2014 dengan menambah dua cerpen lagi.

Corat-Coret di Toilet menjadi buku yang menggugah pikiran dan menawan secara visual. Melalui buku ini, Eka Kurniawan mengajak pembaca dalam perjalanan ke dunia toilet yang tersembunyi, menggali keindahan subversif yang ditemukan di ruang-ruang yang sering diabaikan. Dengan gaya penceritaannya yang khas, Eka Kurniawan kali ini menyoroti kekuatan seni untuk melampaui batas-batas tradisional dan menantang norma-norma masyarakat. Buku ini menjadi pengingat bahwa kreativitas tidak mengenal batas dan ekspresi artistik dapat ditemukan bahkan di tempat yang paling tidak terduga.

***

Dalam paragraf pertama menceritakan tentang bocah yang sedang menikmati bau cat yang masih baru dan buang air kecil. Bocah itu berumur dua puluh tahun, berpakaian gaya anak punk, dan terkagum-kagum dengan dinding  toilet yang polos. Baru dicat dengan warna krem yang  centil. Ia merogoh tas punggungnya dan menemukan  apa yang dicarinya: spidol. Dengan penuh kemenangan, ia menulis di dinding,

"Reformasi gagal total, Kawan! Mari tuntaskan revolusi demokratik!"

Makna dalam tulisan tersebut, terbaca bahwa bocah itu menginginkan sebuah perubahan entah dalam bidang sosial, politik atau agama, karena tidak tertulis. Jika bocah itu seorang mahasiswa, bisa saja mengarah pada perubahan mengenai uang kuliah tunggal atau mengenai hak nya sebagai mahasiswa. Namun perubahan yang ia inginkan tidak tercapai alias gagal total dan bocah itu menginginkan tuntasan revolusi demokratik atau dalam artian perubahan ketatanegaraan yang dilakukan secara kekerasan.

Dalam paragraf kedua menceritakan seorang yang  bocah sudah menyerbu toilet yang terdapat persis di bawah tangga. Ia punya sedikit kelainan dengan salurannya: tampaknya beser. Dengan sebuah pena, ia membuat tanda panah dari kalimat yang terbaca, dan menulis, membalas,

"Jangan memprovokasi! Revolusi tak menyelesaikan masalah. Bangsa kita mencintai kedamaian. Mari melakukan perubahan secara bertahap"

Makna dalam tulisan tersebut, terbaca bahwa bocah itu tidak ingin memprovokasi atau membangkitkan kemarahan seseorang atau oknum, jadi melakukan perubahan dengan kekerasan itu tidak akan menyelesaikan masalah karena bangsa Indonesia mencintai kedamaian, ia menyarankan untuk melakukan perubahan secara bertahap.

 

Dalam paragraf ketiga menceritakan seorang gadis tomboi yang konon suka bertualang .Seperti kebanyakan konsumen toilet, ia tertarik dengan coretan di dinding, dan tergoda untuk ikut berkomentar pula. Dicarinya spidol di tasnya, tapi ia hanya menemukan lipstik. Maka menulislah ia dengan lipstik setelah membuat tanda panah,

"Kau pasti antek tentara! Antek orde baru! Feodal, borjuis, reaksioner gobl*k! Omong-kosong reformasi, persiapkan revolusi!"

Mari kita lihat dengan seksama kata-kata dalam tulisan  gadis itu. Antek diartikan sebagai pengikut  atau budak, feodal diartikan sebagai masyarakat yang dikuasai oleh kaum bangsawan, borjuis diartikan sebagai masyarakat kelas atas (biasanya dipertentangkan dengan rakyat jelata, reaksioner diartikan sebagai menentang kemajuan.  Dapat di simpulkan bahwa gadis itu tidak menyukai tulisan yang di tulis oleh bocah sebelum nya, yang di mana isi nya menyarankan untuk melakukan perubahan secara bertahap, namun gadis itu tidak menyukai nya dan tetap ingin melakukan perubahan dengan kekerasan.

 

Dalam paragraf ketiga menceritakan seorang anak yang lain masuk.  sambil menikmati buang air besar nya , si bocah mulai membacai tiga kalimat yang tertulis di dinding. Ia tersenyum dengan tulisan terakhir, dan membayangkan gadis macam apa yang menuliskannya. Setelah cebok, ia pun mengambil pena dan ikut berkomentar dengan penuh gairah,

"Hai, Gadis! Aku suka gadis revolusioner. Mau kencan denganku?"

Makna dalam tulisan tersebut, terlihat bahwa anak laki-laki itu menyukai gadis yang suka perubahan yang dilakukan secara kekerasan.

 

Dalam paragraf keempat, muncullah seorang gadis lain dan dari jenis yang lain. Seorang hedonis yang suka dandan. Ketika itulah ia membaca segala unek-unek orang di dinding. Sambil tertawa centil, ia ikut menulis, juga dengan lipstik,

"Mau kencan denganku? Boleh! Jemput jam sembilan malam di cafe. NB: jangan bawa intel."

Makna dalam tulisan tersebut sedikit ambigu, bahwasannya tujuan anak laki-laki sebelum nya bukan pada gadis yang suka dandan ini. Lalu entah kenapa ia menyuruh untuk tidak membawa intel

Dalam paragraf kelima, munculah di toilet seorang laki-laki. Tubuhnya besar dan agak tinggi, dengan rambut pendek sisa digundul.  Beginilah apa yang ia tulis,

"Kawan, kalau kalian sungguh-sungguh revolusioner, tunjukkan muka kalian kalau berani. Jangan cuma teriak-teriak di belakang, bikin rusuh, dasar PKI!"

Makna dalam tulisan tersebut, benar adanya bahwa jika para orang-orang sebelum nya sangat terobsesi dengan perubahan hingga menginginkan perubahan secara kekerasan, mengapa harus berbicara di dinding toilet? Mengapa tidak bertindak langsung di depan publik?

Dalam paragraf keenam, ada seorang oknum, pasti keparat yang kurang moral, dan dikutuk oleh hampir semua pelanggan setia jasa-jasa toilet, yang bikin ulah menjijikkan. Mulailah ia membaca pesan-pesan di dinding dengan kemarahan yang tersisa dari tragedi yang baru saja terjadi. Ia ambil spidolnya, warna biru, dan segera ikut menulis,

"Ini dia reaksioner brengsek, yang ngebom tanpa dibanjur! Jangan-jangan tak pernah cebok pula. Hey, Kawan, aku memang PKI: Penggemar Komik Indonesia. Kau mau apa, heh?"

Makna dalam tulisan tersebut, terlihat bahwa oknum itu sangat membenci tulisan sebelum nya karena ia menganggap itu menentang kemajuan.

Dalam paragraf ketujuh, menceritakan keadaan sebelumnya toilet itu, dicat agar tampak bersih dan terasa nyaman. Sekarang, dindingnya penuh dengan tulisan-tulisan konyol yang saling membalas, tentang gagasan-gagasan radikal progresif, tentang ajakan kencan mesum, dan ada pula penyair-penyair yang puisinya ditolak penerbit menuliskan seluruh master piece-nya di dinding toilet. Dan para kartunis amatir, ikut menyemarakkannya dengan gagasan-gagasan 'the toilet comedy'. Hasilnya, dinding toilet penuh dengan corat-coret nakal. Karena kemudian menjadi tampak kumuh, sang dekan sebagai pihak yang berwenang di fakultas, memutuskan untuk mengecat kembali dinding toilet. Maka terhapuslah buku harian milik umum itu. Salah satu mahasiswa, masuk toilet, dan segera saja merasa jengkel melihat dinding yang beberapa hari lalu masih polos, sudah kembali dipenuhi gagasan-gagasan konyol dari makhluk-makhluk usil. Maka ia pun ikut menulis, walau hatinya nyaris menangis,

"Kawan-kawan, tolong jangan corat-coret di dinding toilet. Jagalah kebersihan. Toilet bukan tempat menampung unek-unek. Salurkan saja aspirasi Anda ke bapak-bapak anggota dewan."

Makna dalam tulisan tersebut, sudah jelas bahwa mahasiswa itu menginginkan toilet yang bersih tanpa coretan di dinding untuk menulis unek-unek atau kritik dan memerintahkan untuk salurkan kepada para anggota dewan.

 

Dalam paragra kedelapan atau terakhir, menceritakan tulisan si mahasiswa alim itu, tertulislah puluhan komentar dalam satu minggu. Tanggapan-tanggapan atas usul si mahasiswa alim, ditulis dengan baragam alat: pena, spidol, lipstik, pensil, darah, paku yang digoreskan ke tembok, dan ada pula yang menuliskannya dengan patahan batu bata atau arang. Tulisan pertama berbunyi:

"Aku tak percaya bapak-bapak anggota dewan, aku lebih percaya kepada dinding

toilet."

Dan seratus tulisan tersisa, juga hanya menulis,

"Aku juga."

Makna dalam tulisan tersebut, terlihat bahwa banyak mahasiswa yang setuju dengan ketidak percayaan nya dengan bapak anggota dewan untuk menyalurkan aspirasinya dan memilih untuk menuliskan nya di dinding toilet. Entah apa yang membuat mereka tidak bisa percaya pada bapak anggota dewan.

Kesimpulan dari seluruh makna tulisan di dinding toilet, dalam cerpen Corat-coret di Toilet karya Eka Kurniawan. Para mahasiswa atau oknum ini menginginkan sebuah perubahan namun tidak di jelaskan perubahan mengenai apa. Sebagian oknum menginginkan perubahan secara kekerasan dan sebagian meminta untuk perubahan secara bertahap saja. Ada juga beberapa tulisan yang sulit di mengerti.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun