Mohon tunggu...
Zamalat Suhareka
Zamalat Suhareka Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mhasiswa Universitas Syiah Kuala

Pendidikan tidak pernah membedkan antara laki-laki dan perempuan

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Bahas Sinema "Cingcowong" bersama Mahasiswa PMM 2 Universitas Pendidikan Indonesia

29 Oktober 2022   23:44 Diperbarui: 29 Oktober 2022   23:46 448
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bahas Sinema "Cingcowong" bersama Mahasiswa PMM 2 Universitas Pendidikan Indonesia

Ritual meminta turun hujan merupakan sebuah simbolisasi atau bentuk dari kepasrahan manusia yang ada saatnya tidak mampu/berdaya dalam menghadapi kekuasaan alam, terutama yang bersangkutan dengan air. Air berperan sebagai kebutuhan dasar dan pokok manusia perlu senantiasa dipenuhi setiap hari, jadi ketika persedian air semakin menipis, mengakibatkan terganggunya pemenuhan kebutuhan hidup manusia, seperti untuk makan, minum, mencuci dan banyak lainnya. Di lain sisi, kebutuhan air untuk pekerjaan yang memenuhi kebutuhan hidup, seperti untuk lahan pertanian dan perkebunan yang dimana jika kekurangan air akan mengakibatkan kekeringan pada tanaman dan pada akhirnya akan menyebabkan kegagalan panen.

Di desa Luragung Landeuh, kabupaten Kuningan, provinsi Jawa Barat ada sebuah ritual meminta hujan yang biasanya disebut "Cingcowong", ritual itu sendiri merupakan tradisi khusus daerah kuningan. Ritual cingcowong berhubungan erat dengan kebutuhan dan ketergantungan manusia terhadap alam, adapun bentuk ketergantungan tersebut yaitu kebutuhan manusia akan air sebagai sumber penghidupan pangan dan yang lainnya. Tradisi cingcowong ini bertujuan untuk memohon kepada Tuhan yang Maha Esa, supaya segera diturunkan hujan ketika kekurangan air atau kemarau yang berkepanjangan.

Cingcowong berasal dari kata cing dan cowong, kata cing dalam kamus bahasa Indonesia-Sunda memiliki arti yang sama dengan kata cik yang berarti "coba" dalam bahasa Indonesia. Kata cowong dalam bahasa Indonesia berarti "biasa berbicara keras", jadi dari segi bahasa, Cingcowong memiliki arti mencoba berbicara keras. Pengertian lain dari Cingcowong menurut sumber lain berasal dari katang cing yang berarti "teguh"(sunda) atau "terka" (Indonesia) dan cowong merupakan kepanjangan dari kata "wong" yang dalam bahasa Jawa tersebut memiliki arti "coba terka siapa orang ini".

Cingcowong berbentuk boneka yang kepalanya terbuat dari batok kelapa, dan badannya terbuat dari bubu ikan, sebagai media penghubung antara dunia manusia dan dunia gaib. Ritual Cingcowong dipimpin oleh seorang yang dinamakan punduh. Punduh adalah orang yang dianggap memili kemampuan khusus di bidang spiritual dan berhubungan dengan makhluk dan kekuatan supernatural, yang dimana kemampuan tersebut diperolehnya dari keturunan, biasanya kemampuan tersebut di teruskan dari orang yang berkemampuan terdahulu. Sebelum ritual cingcowong dilakukan punduh hendaknya berpuasa tiga (3) hari tiga (3) malam.

Untuk kelancaran ritual, seorang punduh akan dibantu oleh orang yang bertugas untuk memegang boneka cingcowong, dan memainkan dua alat music utama yaitu buyung dan bokor. Ada juga sinden yang bertugas melantunkan lagu-lagu tertentu untuk mengiringi boneka cingcowong menari. Kemudian perlengkapan pendukung ritual selain boneka cingcowong sebagai alat utama juga dilengkapi dengan taraje (tangga bamboo), samak (tikar), sisir dan cermin, serta air dan bunga kamboja yang disimpan dalam wadah. Untuk menambah hikmah ritual disediakan set parukuyan (pedupan) dan kemenyanya, serta aneka sesajian yang terdiri dari telur asin, kopi, rook/cerutu, congcot (tumpeng kecil), tektek (seperangkat bahan untuk menyirih) makanan ringan, kue-kue basah, dan buah-buahan manis.

Ketika semua kelengkapan ritual telah dipersiapkan, ritual cingcowong pun siap dilaksanakan. Para pemain alat music memukul-mukul buyung dengan menggunakan hihid atau kipas yang terbuat dari anyaman bambo dan bokor, dengan menggunakan dua buah ruas kayu masing-masing sepanjang 40 cm, sambil mengiringi sinden yang bernyanyi, punduh dan pembantunya memegang boneka cingcowong masuk lokasi ritual dan berjalan diantara anak tangga yang diletakkan di atas lantai, dari ujung awal sampai ujung akhir tangga, sebanyak tiga kali bolak -- balik , kemudian punduh duduk di tengah tangga dengan memangku boneka, dan menghadapkan wajah boneka cingcowong kea rah cermin, kemudian melakukan gerakah seperti menyisir rambut boneka menggunakan sisir. Disampingnya, duduk pembantu punduh untuk ikut memegangi sabuk yang dikenakan boneka cingcowong, dikarenakan boneka sudah mulai bergerak mengikuti alunan lagu, semakin lama, boneka semakin bergerak kea rah kanan, kiri, dan ke depan seperti tidak terkendali, tetapi tetap dipegang oleh ketiga orang tersebut. Boneka cingcowong mulai bergerak setelah kalimat terakhir dari lagu cingcowong yang dinyanyikan sinden. Gerakan tak terkendali dari boneka cingcowong, menandakan bahwa boneka tersebut telah mulai dimasuki makhluk goib. Terkadang boneka cingcowong mendatangi kerumunan penonton dan membuat mereka berhamburan karena ketakutan. Jika ada penonton yang terkena ketuk oleh boneka cingcowong tersebut biasanya dia akan sakit-sakitan yang hanya bisa disembuhkan oleh punduh.

Setelah ritual cingcowong lengkap semua, maka kebiasannya tidak lama setalah itu akan turun hujan, hujan turun kebiasaanya sampai kebutuhan di daerah tersebut terpenuhi. Tradisi cingcowong terakhir di lakukan pada tahun 2015, tradisi tersebut tidak dilakukan lagi dikarenakan ada pendapat-pendapat yang menyatakan tradisi tersebut melenceng dengan kepercayaan agama.

Bahas Sinema
Bahas Sinema "Cingcowong" bersama Mahasiswa PMM 2 Universitas Pendidikan Indonesia

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun