Mohon tunggu...
Zalsa Aulia Syafirah
Zalsa Aulia Syafirah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Hello! I'm Zalsa and now I'm a student majoring public administration at Mulawarman University

Selanjutnya

Tutup

Politik

Retno Marsudi: Dari Duta Besar Hingga Menteri Luar Negeri

15 November 2024   19:03 Diperbarui: 15 November 2024   19:26 60
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
 (Sumber: Dok. Kemlu) 

Retno Lestari Priansi Marsudi atau yang lebih dikenal dengan nama Retno Marsudi mungkin tidak asing lagi di telinga masyarakat Indonesia. Ia membuat sejarah sebagai perempuan pertama yang menjabat sebagai menteri luar negeri Indonesia. Ia menjadi panutan bagi sebagian besar masyarakat terutama perempuan karena kepiawaiannya dalam diplomasi internasional, integritasnya dalam menjaga kedaulatan Indonesia, serta perannya yang aktif dalam memperkuat hubungan bilateral dan multilateral Indonesia dengan negara-negara lain.

Retno Marsudi lahir di Semarang, Jawa Tengah, 27 November 1962. Ia menempuh pendidikan sekolah menengah atas di SMA Negeri 3 Semarang dan memperoleh gelar sarjana Ilmu Hubungan Internasional di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta pada tahun 1985. Ia kemudian meraih gelar magisternya di Haagse Hogeschool di Belanda lalu Ia juga mempelajari studi hak asasi manusia di Universitas Oslo. Setahun menjelang akhir perkuliahannya di Universitas Gadjah Mada, Ia dinyatakan lolos seleksi rekrutmen yang diadakan oleh Kementerian Luar Negeri. 

Setelah menamatkan studinya Ia langsung ditugaskan ke Australia untuk membicarakan isu yang memojokkan Indonesia karena pembantaian warga Timor Leste serta menjabat sebagai sebagai Third Secretary penerangan di KBRI Canberra pada tahun 1990--1994. Kemudian pada tahun 1997-2001, Ia dikirim ke Belanda sebagai sekretaris bidang ekonomi di Kedutaan Besar Republik Indonesia di Den Haag, Belanda. Setelah itu pada tahun 2001-2003, Ia menjadi Direktur Kerjasama Intra dan Antar Regional Amerika dan Eropa lalu kemudian menjadi direktur eropa barat hingga 2005. Tak lama setelah itu Ia ditugaskan menjadi duta besar Indonesia untuk Norwegia dan Islandia hingga 2008. Menjelang selesai masa bakti Ia dikirim kembali ke Indonesia untuk menjadi Direktur Jenderal Eropa dan Amerika yang bertanggung jawab mengawasi hubungan 82 negara di Eropa dan Amerika.

Pada tahun 2012, Ia dipercaya menjabat sebagai Duta Besar Republik Indonesia untuk Kerajaan Belanda. Dalam peran ini, Beliau memiliki tugas berat untuk memperkuat hubungan diplomatik antara Indonesia dan Belanda, dua negara dengan hubungan sejarah yang cukup panjang. Selama menjadi duta besar, beliau menorehkan banyak prestasi seperti berhasil dalam memperkuat hubungan bilateral antara kedua negara. Indonesia dan Belanda memiliki sejarah panjang dalam hubungan diplomatik, yang melibatkan kolaborasi di berbagai sektor, termasuk perdagangan, investasi, pendidikan, dan budaya. Beliau memfasilitasi sejumlah forum bisnis, seminar, dan pertemuan antar-pemangku kepentingan, yang mendorong peningkatan kerjasama ekonomi dan investasi, khususnya dalam sektor energi terbarukan dan infrastruktur.

Sebagai duta besar, Ia sangat peduli dengan nasib pekerja migran Indonesia di luar negeri, khususnya di Belanda yang jumlahnya cukup banyak. Salah satu pencapaian terbesarnya adalah upayanya untuk meningkatkan perlindungan bagi pekerja migran Indonesia terutama yang bekerja di sektor informal. Ia juga berhasil memperkuat hubungan dengan otoritas Belanda untuk memastikan perlindungan lebih baik bagi pekerja migran Indonesia termasuk dalam hal perbaikan kondisi kerja dan kesejahteraan mereka. Selain itu, Ia juga memastikan bahwa pekerja migran Indonesia mendapatkan hak-hak mereka seperti perlindungan hukum, pendidikan, serta akses ke layanan sosial. Ia juga mendorong kebijakan yang lebih responsif terhadap masalah pekerja migran, dengan memfasilitasi komunikasi antara pemerintah Indonesia dan Belanda.

Setelah 2 tahun bertugas di Belanda, Ia dikirim kembali ke tanah air karena mendapat kepercayaan dari Presiden Joko Widodo untuk menjabat sebagai Menteri Luar Negeri RI 2014-2019 yang sekaligus menjadikan beliau menteri luar negeri perempuan pertama Indonesia. Penunjukan ini tidak hanya mencerminkan kepercayaan Presiden Joko Widodo terhadap kemampuan diplomatiknya, tetapi juga merupakan langkah penting dalam menciptakan keberagaman dalam kepemimpinan politik Indonesia, khususnya di sektor diplomasi yang selama ini didominasi oleh pria.

Menurut data dari Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia, sekitar 75% hingga 80% dari jumlah total diplomat Indonesia pada tahun 2014 adalah pria. Ini mencerminkan dominasi gender yang jelas di sektor diplomasi Indonesia. Meskipun wanita mulai memasuki dunia diplomasi, pada tahun 2014, hanya sekitar 20% hingga 25% diplomat Indonesia yang berjenis kelamin perempuan. Meskipun demikian, angka ini menunjukkan adanya peningkatan partisipasi perempuan di sektor diplomasi Indonesia, meskipun jumlahnya masih jauh lebih sedikit dibandingkan dengan pria.

Sebagai Menteri Luar Negeri, Ia memfokuskan perhatian pada peningkatan peran Indonesia di dunia internasional. Ia memperkenalkan pendekatan diplomasi yang lebih fokus pada kepentingan nasional, sambil tetap menjaga hubungan baik dengan negara-negara sahabat. Salah satu pencapaian terbesarnya adalah memperkuat posisi Indonesia dalam forum internasional, termasuk di PBB, ASEAN, dan APEC.

Pada tahun 2017, Ia juga diberi penghargaan Peduli Buruh Migran dari Serikat Buruh Migran Indonesia Atas kegigihannya memperjuangkan hak hak para buruh dan pekerja migran.Setahun berselang Ia dianugerahi penghargaan dari pemerintah Peru bertajuk 'El Sol Del Peru' atau artinya Matahari Peru, dengan kategori Gran Cruz pada 2018 karena Ia memiliki kontribusi besar dalam kerja sama bilateral dengan Peru.

Ia juga sempat dianugerahi penghargaan agen perubahan di bidang Kesetaraan Gender dan Pemberdayaan Perempuan dari UN Women dan Partnership Global Forum (PGF) pada 2017. UN Women merupakan lembaga PBB yang memiliki tugas memajukan kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan, sedangkan PGF adalah lembaga non profit yang memiliki tujuan mengembangkan kemitraan inovatif bagi pembangunan. Penghargaan itu dianugerahkan langsung kepadanya oleh Asisten Sekretaris Jenderal PBB sekaligus Deputi Direktur Eksekutif UN Women, Lakshmi Puri saat jamuan makan siang di sela kegiatan Sidang Majelis Umum PBB ke-72 di Markas Besar PBB, New York, AS. Berkat diplomasinya pula, Indonesia berhasil melaksanakan tugas sebagai Presidensi Dewan Keamanan PBB pada bulan mei 2019. Saat di pimpin Indonesia, DK PBB sukses melaksanakan 50 kegiatan baik virtual maupun pertemuan langsung.

Ia juga aktif memperjuangkan isu-isu global yang penting bagi Indonesia, seperti perubahan iklim, perdamaian dunia, dan hak asasi manusia. Sebagai contoh, Ia memainkan peran penting dalam memperkuat komitmen Indonesia terhadap pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) dan dalam merumuskan kebijakan luar negeri yang lebih ramah lingkungan, sejalan dengan upaya global untuk menanggulangi perubahan iklim. Komitmen Indonesia akan mendorong ASEAN agar berperan penting dalam rantai pasok global, pembangunan hijau, pusat pertumbuhan dan hub kawasan untuk kendaraan listrik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun