Mohon tunggu...
Zalita Andini
Zalita Andini Mohon Tunggu... Freelancer - Freelance dan mahasiswi

Saya memiliki hobby travelling dan bernyanyi. Saat ini bekerja sambil berkuliah di universitas 17 agustus surabaya. 10 tahun bergelut di dunia entertain sebagai Model, MC, Usher, dan ex-TV Presenter.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Kesetaraan Jabatan dalam Perspektif Standpoint Theory: Pendekatan Untuk Membangun Keadilan di Tempat Kerja

7 November 2024   23:44 Diperbarui: 8 November 2024   00:09 110
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://student-activity.binus.ac.id/tfi/wp-content/uploads/sites/41/2021/04/1.jpg

Abstrak

Artikel ini membahas peran Standpoint Theory dalam memahami dan mengatasi ketidaksetaraan sosial di tengah masyarakat yang semakin beragam. Teori ini menawarkan perspektif unik dengan menekankan pentingnya pengalaman hidup kelompok marjinal sebagai sumber pengetahuan yang sah, yang sering kali diabaikan oleh pandangan dominan. Dengan melihat ketidaksetaraan dari sudut pandang yang berbeda, Standpoint Theory membantu mengidentifikasi bentuk-bentuk ketidakadilan yang tidak selalu terlihat oleh kelompok dominan, seperti diskriminasi berbasis gender, ras, dan status sosial. Artikel ini mengeksplorasi prinsip dasar teori, manfaat, serta tantangan dalam penerapannya. Ditemukan bahwa meskipun Standpoint Theory memiliki potensi besar dalam menciptakan kesetaraan yang lebih inklusif, penerapannya dihadapkan pada tantangan seperti kurangnya pengakuan terhadap pengalaman kelompok marjinal dan risiko subjektivitas yang berlebihan. Artikel ini merekomendasikan pengintegrasian perspektif kelompok marjinal dalam pembuatan kebijakan, peningkatan edukasi tentang nilai keberagaman perspektif, dan pengembangan kajian berbasis Standpoint Theory untuk memperkuat pemahaman mengenai ketidaksetaraan sosial. Diharapkan, melalui pendekatan yang lebih inklusif ini, masyarakat dapat mencapai kesetaraan yang lebih adil dan responsif terhadap kebutuhan semua kelompok.

Kata Kunci: Standpoint Theory, kesetaraan sosial, kelompok marjinal, perspektif yang berbeda, ketidakadilan, inklusivitas, keberagaman perspektif, kebijakan sosial, diskriminasi, pengalaman hidup

Pendahuluan

Dalam beberapa dekade terakhir, isu kesetaraan sosial menjadi topik yang semakin mengemuka di berbagai kalangan, baik di lingkungan akademik, masyarakat umum, maupun dalam perumusan kebijakan. Masyarakat modern yang semakin beragam baik dalam hal budaya, etnis, gender, dan identitas lainnya, menghadapi tantangan dalam mewujudkan kesetaraan yang inklusif dan adil bagi seluruh lapisan sosial (Salsabila, 2024). Namun, upaya menuju kesetaraan ini sering kali terbentur oleh adanya sudut pandang dominan yang mengabaikan atau kurang mengakomodasi perspektif dari kelompok-kelompok marjinal. Hal ini menyebabkan adanya kesenjangan dalam memahami kebutuhan dan hak-hak kelompok terpinggirkan, yang pada gilirannya menghambat terciptanya masyarakat yang benar-benar setara.

Kendala ini membuka ruang bagi perlunya pendekatan baru yang mampu melihat realitas dari berbagai perspektif, terutama dari kelompok yang terpinggirkan. Di sinilah peran Standpoint Theory atau teori sudut pandang menjadi relevan. Standpoint Theory merupakan pendekatan teoritis yang menekankan bahwa pengetahuan dan pemahaman kita tentang dunia tidak dapat dipisahkan dari sudut pandang sosial kita (Ikhsan et al., 2024).

Pendekatan ini mempercayai bahwa individu atau kelompok yang terpinggirkan memiliki pandangan dunia yang berbeda dan unik, yang mampu memperkaya wawasan dan pengetahuan kita mengenai isu-isu kesetaraan. Menurut teori ini, pengalaman kelompok marjinal tidak hanya memberikan perspektif yang berbeda, tetapi juga menawarkan bentuk pengetahuan yang mungkin tidak dapat diakses oleh kelompok dominan. Dengan memahami pengalaman dari perspektif yang berbeda, masyarakat diharapkan dapat mencapai kesetaraan yang lebih inklusif.

Sebagai kerangka berpikir yang tumbuh dari tradisi sosiologi kritis dan feminisme, Standpoint Theory pertama kali diperkenalkan oleh Dorothy Smith dan kemudian dikembangkan oleh tokoh-tokoh seperti Sandra Harding dan Patricia Hill Collins. Mereka berpendapat bahwa pengalaman dan pandangan individu dari kelompok marjinal sering kali tidak diakui atau dianggap tidak valid dalam masyarakat yang didominasi oleh perspektif mayoritas atau kelompok dominan (Smith, 2004). Oleh karena itu, Standpoint Theory tidak hanya menekankan pentingnya melihat realitas dari sudut pandang yang berbeda, tetapi juga menyerukan pengakuan terhadap validitas pengetahuan yang berasal dari pengalaman hidup kelompok terpinggirkan. Dengan kata lain, teori ini mengajak kita untuk mempertimbangkan pengalaman-pengalaman unik sebagai sumber pengetahuan yang sah dalam memahami berbagai isu sosial, termasuk isu kesetaraan.

Ketika diterapkan dalam konteks kesetaraan, Standpoint Theory memiliki potensi besar untuk menantang pandangan-pandangan konvensional yang cenderung bersifat homogen dan bias terhadap kelompok tertentu. Melalui teori ini, kita didorong untuk mengakui bahwa kesetaraan tidak dapat dicapai hanya dengan melihat dari perspektif kelompok dominan, karena kebutuhan dan hambatan yang dihadapi oleh kelompok berbeda juga sangat bervariasi. Misalnya, dalam isu kesetaraan gender, perempuan sering kali menghadapi tantangan yang berbeda dari laki-laki, dan tantangan tersebut tidak dapat sepenuhnya dipahami hanya dari perspektif laki-laki. Begitu pula, individu dari kelompok minoritas rasial atau etnis menghadapi diskriminasi yang mungkin tidak disadari oleh kelompok mayoritas. Dengan demikian, Standpoint Theory mengajarkan bahwa memahami kesetaraan memerlukan perhatian khusus terhadap perspektif dan pengalaman hidup mereka yang sering kali terabaikan.

Standpoint Theory menentang asumsi bahwa semua orang memiliki akses yang sama terhadap pengetahuan dan pemahaman tentang masalah-masalah sosial. Kenyataannya, struktur sosial sering kali menentukan siapa yang memiliki hak untuk berbicara, siapa yang didengarkan, dan siapa yang dianggap memiliki pandangan sah (Suryana, 2021). Individu atau kelompok yang memiliki kekuasaan cenderung lebih mudah untuk menyuarakan dan mempertahankan perspektif mereka, sedangkan kelompok yang terpinggirkan menghadapi berbagai kendala dalam mengemukakan pandangan mereka. Hal ini menyebabkan terbentuknya hierarki pengetahuan, di mana pandangan kelompok dominan cenderung lebih diakui dan dianggap benar. Standpoint Theory mencoba untuk membongkar hierarki ini dengan menyoroti nilai dari pandangan kelompok yang tidak memiliki kekuasaan atau pengaruh dalam masyarakat (Purnomo et al., 2023). Teori ini menuntut perhatian yang lebih besar terhadap suara dan pengalaman kelompok yang sebelumnya tidak dianggap sebagai sumber pengetahuan yang sah.

Dalam konteks masyarakat beragam seperti saat ini, Standpoint Theory menjadi semakin relevan. Kebutuhan untuk merangkul dan memahami perspektif dari berbagai kelompok sosial yang berbeda semakin penting, terutama dalam upaya mencapai kesetaraan yang sejati. Dengan mengakui bahwa pengetahuan dan pengalaman hidup kelompok marjinal memiliki nilai yang sama pentingnya dengan kelompok dominan, Standpoint Theory dapat menjadi alat yang efektif dalam merumuskan kebijakan dan strategi yang lebih inklusif. Teori ini membantu mengatasi masalah-masalah yang mungkin tidak terlihat oleh kelompok dominan, tetapi sangat nyata bagi mereka yang mengalami ketidakadilan sosial secara langsung.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun