Term gender telah lama terjawab dan kini tidak lagi disamakan dengan Sex yang mengacu pada alat kelamin laki-laki maupun perempuan dan dianggap sebagai kodrat tuhan. Pada mulanya sebelum muncul kesadaran moral akan discriminasi yang dialami oleh perempuan dalam berbagai lini kehidupan sosial, istilah gender sangat erat dihubungkan dengan Sex. Pada akhirnya kesalahan dalam menafsirkan kedua istilah tersebut menggiring masyarakat dalam pemahaman bahwa perempuanberada dibawah kendali laki – laki.
Memang tidak dapat dipungkiri jika Gender secara lexicon memiliki arti alat kelamin namun tidak tepat jika pemaknaan terhadap Gender dengan serta merta terhenti sebagaimana orang –orang dapat menemukannya di dalam kamus. Gender memiliki dua dimensi yaitu bermakna genis kelamin (genital) dan peran sosial (gender role) yang diemban oleh setiap orang. Oleh sebab itu tentu keliru jika Gender semata – matadisamakan dengan Sex yang hanya memiliki satu dimensi yaitu sebagai alat kelamin. Paham inilah yang mengakibatkan timbulnya budaya patriarki (father rule) bahwa perempuan hanya sebagai second sex (objek dominasi kaum laki-laki) sebagaimana dalam istilah yang diutarakan oleh Simon De Bauvoir.
Sexologist John Money introduced the terminological distinction between biological sex and gender as a role in 1955. Before his work, it was uncommon to use the word gender to refer to anything but grammatical categories. However, Money's meaning of the word did not become widespread until the 1970s, when feminist theory embraced the concept of a distinction between biological sex and the social construct of gender (Wikipedia, the free encyclopedia.htm).
Meskipun mitos budaya patriarki telah lama terjawab namun sampai sekarang implikasi yang ditimbulkannya tidak begitu saja dapat dihilangkan dari dinamika kehidupan masyarakat. Salah satu implikasi yang disebabkan oleh budaya ini dapat kita lihat dari maraknya kekerasan yang diterima oleh perempuan baik kekerasan pisik secara langsung, psikologis, maupun kekerasan yang dilembagakan seperti prostitusi yang telah sekian lama dijalankan di Gang Dolly, tempat prostitusi terbesar di Asia Tenggara.
Fakih (2011) menyatakan bahwa prostitusi jelas merupakan bagian dari implikasi yang ditimbulkan oleh budaya patriarki yang bermula dari paham Gender yang keliru. Kebanyakan orang selama ini memandang prostitusi sebagai penyakit masyarakat yang harus dilawan. Paradigma ini mengakibatkan para PSK dianggap sebagai sampah masyarakat dan harus dijauhi. Padahal prostitusi tidak terlepas dari adanya kesalah pahaman dalam memahami gender. Tak ayal akhirnya mainstream tersebut berujung pada blaiming the victim (menyalahkan korban) dalam istilah Fakih.
Kacamata yang digunakan oleh kebanyakan masyarakat selama ini mengikuti kesadaran dalam istilah Freire yaitu religious consciousness. Kesadaran ini melihat permasalahan seperti kemiskinan dan prostitusi diakibatkan oleh individu itu sendiri yang tidak berupaya untuk meningktkan kualitas hidup mereka serta kesadaran ini tidak sampai memukan pola yang berlaku yaitu pemiskinan secara struktural yang diakibatkan oleh superioritas laki – laki dalam menguasai segala lini kehidupan. Itulah sebabnya Fakih menyatakan kesadaran tersebut justru enyalahkan korban.
Prostitusi merupakan akibat dari sempitnya kesempatan perempuan untuk berkiprah dan berkarir secara leluasa dalam kehidupan sehari – sehari yang pada akhirnya bermuara pada pemiskinan terhadap kaum perempuan (women poverty). Sebelum itu, dapat ditelusuri bahwa memilih menjadi pekerja seks merupakan dampak dari lemahnya pendidikan mereka. Itu semua merupakan akibat budaya patriarki dimana perempuan dalam dunia pendidikan, bekerja, berkiprah dalam politik, dll., selalu dibatasi. Apalagi diperparah oleh adanya women trafficking dimana perempuan seringkali dijebak oleh pihak – pihak tertentu dengan dijanjikan pekerjaan yang layak padahal sebenarnya mereka akan dikirim ketempat – tempat hiburan malam dan prostitusi.
Adanya tempat – tempat prostitusi ini justru malah dimanfaatkan oleh negara dengan menarik pajak yang begitu tinggi. Apalagi pajak yang diperoleh dari diskriminasi yang dialami oleh perempuan selama ini belum tentu dinikmati oleh mereka. Seperti yang dilansir oleh Merdeka.com perputaran uang setiap malam bisa mencapai Rp 2 miliar. Pajak yang disumbangkan tiap hari sekitar 48 juta dari 80 wisma yang ada. Artinya jika di total selama satu tahun mencapai 17,28 miliar. Wajar saja jika sebelum Wali Kota Surabaya yang sekarang membuat kebijakan menutup Dolly, tempat tersebut merupakan aset yang harus dijaga karena menyamai sumber daya alam lainnya.
Bahakan sampai saat ini, beberapa kalangan menolak untuk dilakukan penutupan. Tentu sangat miris karena menjadi pekerja di tempat prostitusi merupakan keterpaksaan dimana mereka harus merelakan tubuh mereka diekploitasi demi keuntungan materi. Namu disisi lain merekapun harus rela diekploitasi oleh pemerintah sendiri yang semestinya membina dan mensejahterakan mereka. Hal itu menambah persoalan diskriminasi yang dihadapi oleh perempuan semakin pelik.
Tingginya jumlah pajak yang diterima Kota Surabaya selama ini disumbangkan oleh sekitar 1.187 orang pegawai seks komersial (PSK) yang bekerja dibawah 311 orang mucikari. persoalan ekploitasi besar – besaran terhadap kaum perempuan tersebut harus benar – benar dapat dipecahkan. Apalagi mereka tidak menyadari menjadi korban kekerasan struktural.
Semua orang tanpa terkecuali menginginkan hidup yang layak baik jasmani maupun rohani. Maka sudah sepantasnya pemerintah mengambil langkah win – win solution. Pemerintah semestinya tidak membiarkan bahkan membuka kesempatan bagi praktek prostitusi, namun tidak pula dengan semena – mena menggusur tempat tersebut tanpa bertanggung jawab membina dan berupaya memberikan kesejahteraan bagi para pekerja yang terlibat di dalamnyatermasuk pedagang kecil disekitarnya.
Langkah pemerintah kota Surabaya yang telah menetapkan tanggal pembubaran Dolly, 18 Juni mendatang, merupakan kebijakan yang perlu untuk diapresiasi setinggi – tingginya meskipun terkesan terlambat, karena bagaimanapun juga praktek prostitusi tidak dapat ditolerir. Pemkot Surabaya harus memastikan bahwa pemberian modal dan pembinaan kualitas hidup mereka harus dipastikan benar-benar direalisasikan sehingga mereka tidak kembali ke pekerjaan menjadi pegawai seks komersial (PSK). Pemberian modal usaha saja tidak cukup untuk memecahkan masalah Dolly. Disamping itu proses penyadaran akan diskriminasi yang dialami mereka dan pembinaan kualitas hidup harus menjadi fokus utama. Baru setelah itu pemkot dapat berbicara suntikan modal usaha yang diberikan kepada mereka. Terlebih lagi suntikan dana yang akan diberikan hanya sebesar Rp 3 juta.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H