1. Â Masalah yang dihadapi ahli waris ketika pewaris meninggal dunia pada umumnya meliputi:
- Pembagian Warisan: Salah satu masalah paling umum adalah pembagian harta warisan. Ini bisa menjadi rumit jika ada banyak ahli waris atau jika tidak ada wasiat yang jelas dari pewaris.
- Kepastian Legalitas: Ahli waris mungkin harus menghadapi masalah hukum terkait legalitas wasiat, kepemilikan harta, atau masalah hukum lainnya yang mempengaruhi warisan.
- Utang dan Kewajiban: Ahli waris mungkin bertanggung jawab untuk membayar utang yang ditinggalkan oleh pewaris, terutama jika harta warisan tidak mencukupi untuk melunasi utang tersebut.
- Pajak Warisan: Di beberapa negara, warisan bisa dikenai pajak yang signifikan, dan ahli waris perlu memahami kewajiban pajak mereka terkait warisan yang mereka terima.
- Konflik Keluarga: Kematian seseorang seringkali memunculkan konflik internal di antara ahli waris, terutama terkait dengan pembagian harta, keputusan hukum, atau masalah keluarga lainnya.
- Pengelolaan Aset: Ahli waris mungkin perlu mengelola aset yang diwarisi, seperti properti, investasi, atau bisnis, yang memerlukan pengetahuan dan keterampilan manajemen yang tepat.
- Biaya dan Proses Hukum: Proses perwalian dan pembagian warisan seringkali melibatkan biaya hukum dan administratif yang signifikan, yang harus ditanggung oleh ahli waris.
- Ketidaksetujuan dengan Fatwa Waris: Terkadang, ahli waris tidak setuju dengan fatwa waris yang diberikan, yang bisa menimbulkan konflik di antara mereka.
- Pembagian Waris yang Dihalangi: Ada situasi di mana ahli waris dihalangi oleh pihak lain saat proses pembagian warisan, yang memerlukan langkah hukum untuk menyelesaikannya.
- Pewaris Poligami: Dalam kasus pewaris yang memiliki lebih dari satu istri, perhitungan pembagian waris menjadi lebih kompleks dan bisa menimbulkan perselisihan.
- Pewaris Tidak Menikah: Jika pewaris tidak menikah dan tidak memiliki keturunan, penentuan ahli waris dan pembagian warisan bisa menjadi masalah.
- Status Cerai dan Hak Waris: Terdapat pertanyaan mengenai hak waris bagi mantan pasangan yang sudah bercerai dari pewaris.
- Wasiat yang Lebih Besar dari Jatah Ahli Waris: Masalah muncul ketika wasiat yang ditinggalkan pewaris lebih besar dari jatah yang seharusnya diterima oleh ahli waris menurut hukum Islam.
2.  Dalam menyelesaikan perkara sengketa waris ini ada dua penawaran bagi para pihak yang bersangkutan  yang pertama jalur litigasi dan non litigasi.
1. Penyelesaian hukum secara Litigasi
Litigasi merupakan penyelesaian sengketa atau perkara baik secara pidana maupun perdata yang dilakukan di pengadilan, termasuk pengadilan negeri dan sebaliknya. Pemerintah memfasilitasi pengadilan sebagai tempat bagi seseorang yang mencari keadilan dan yang merasa hak-haknya telah dirampas. Dan bagi masyarakat yang beragama Islam pemerintah menyediakan Pengadilan Agama yang kompetensi absolutnya untuk menyelesaikan sengketa untuk umat muslim di bidang Perkawinan, Kewarisan, Wasiat, Hibah, Zakat, Infak Sedekah, dan ekonomi Islam. Dan hal tersebut telah ada di dalam pasal 49 Undang-undang Peradilan Agama.
2. Penyelesaian secara Non litigasi (Mediasi)
Sengketa hukum waris dapat diselesaikan dengan cara litigasi dan non litigasi. Penyelesaian sengketa yang harus dilakukan terlebih dahulu merupakan penyelesaian secara non litigasi, yaitu karena ahli waris yang bersengketa berkumpul dan menyelesaikan permasalahan dengan sendirinya dalam sengketa pembagian harta waris dengan melalui musyawarah mufakat. Dan saat musyawarah mufakat tidak menemukan hasil dari permasalahan yang diinginkan maka dilanjutkan dengan mediasi dan salah satu dari ahli waris mendatangkan pihak ketiga untu untuk membantu menyelesaikan sengketa.
Mediasi dapat ditempuh para pihak yang terdiri dari atas dua pihak yang bersengketa ataupun lebih dari dua pihak (multiparties). Dalam penyelesaian mediasi ini dapat dicapai jika semua pihak yang bersengketa dapat menerima penyelesaian itu.
3. Persoalan warisan sangat menjadi perhatian dalam hukum Islam karena warisan merupakan bagian penting dari sistem hukum Islam yang mengatur distribusi harta dan kekayaan setelah seseorang meninggal dunia. Hukum warisan dalam Islam didasarkan pada ketentuan yang jelas dalam Al-Qur'an dan Hadis, yang menetapkan bagaimana harta dan kekayaan seseorang harus didistribusikan kepada ahli waris yang berhak.
Selain itu, hukum warisan dalam Islam juga bertujuan untuk mencegah terjadinya ketidakadilan dan konflik di antara ahli waris. Dengan adanya ketentuan yang jelas mengenai pembagian warisan, diharapkan dapat tercipta keadilan dan kedamaian di antara ahli waris.
Selain itu, hukum warisan dalam Islam juga memiliki tujuan sosial yang penting, yaitu untuk menjaga stabilitas ekonomi dan sosial dalam masyarakat. Dengan adanya sistem warisan yang adil dan transparan, diharapkan dapat mengurangi kemiskinan dan ketimpangan ekonomi di masyarakat.
4. Prosedur radd dimulai dengan memastikan bahwa semua ahli waris dzawil furudh telah menerima bagian mereka. Jika masih terdapat sisa, maka sisa tersebut dikembalikan kepada mereka sesuai dengan proporsi bagian masing-masing7
 Syarat terjadinya radd adalah adanya ahli waris dzawil furudh, tidak adanya ashabah, dan
adanya sisa harta warisan.
Prosedur penyelesaian waris dengan aul melibatkan penyesuaian angka penyebut dalam pembagian warisan. Ini dilakukan dengan menaikkan angka penyebut sehingga setara dengan angka pembilang, memungkinkan pembagian harta yang proporsional di antara ahli waris.
5. bagaimana penyelesaian system penggantian tempat dalam waris?
Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) adalah diberikannya hak seorang ahli waris yang telah meninggal dunia kepada keturunannya yang masih hidup. Aturan ini tercantum dalam Pasal 185 KHI yang bunyi lengkapnya adalah sebagai berikut :
a)Â Ahli waris yang meninggal dunia lebih dahulu dari pada si pewaris, maka kedudukannya dapat digantikan oleh anaknya, kecuali mereka yang tersebut dalam Pasal 173.
b)Â Bagian ahli waris pengganti tidak boleh melebihi dari bagian ahli waris yang sederajat dengan yang diganti.
Dilihat dari tujuannya, pembaharuan hukum kewarisan tersebut dimaksudkan untuk menyelesaikan masalah dan menghindari sengketa. Dalam kaitannya dengan hal ini, Soepomo dalam bukunya bahkan mengatakan bahwa munculnya institusi pergantian tempat didasarkan pada aliran pemikiran bahwa harta benda dalam keluarga sejak semula memang disediakan sebagai dasar material keluarga dan turunannya. Jika seorang anak meninggal sedang orangtuanya masih hidup, anak-anak dari orang yang meninggal dunia tersebut akan menggantikan kedudukan bapaknya sebagai ahli waris harta benda kakeknya.
Namun demikian, KHI juga memberi batasan bahwa harta yang didapat oleh sang cucu bukanlah keseluruhan dari harta yang seharusnya didapat sang ayah, melainkan hanya 1/3 bagiannya saja. Hal ini dapat dipahami dari pasal 185 ayat (2) dengan mengungkapkan 'tidak boleh melebihi'. Yang secara tidak langsung telah memberi batasan bagian yang diterima. Walaupun demikian, dalam pembaharuan yang terjadi di beberapa Negara muslim lainnya seperti Mesir, Tunisia dan Pakistan, dalam konteks ini sang cucu bisa berlaku menghabiskan seluruh warisan ayahnya yang beralih kepadanya karena sang ayah sudah meninggal dunia terlebih dahulu.
Secara tegas dalam Buku Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Peradilan Agama tentang azas ahli waris langsung dan azas ahli waris Pengganti.
1)Â Ahli waris langsung (eigen hoofed) adalah ahli waris yang disebut dalam Pasal 174 KHI.
2)Â Ahli waris Pengganti (plaatvervulling) adalah ahli waris yang diatur berdasarkan pasal 185 KHI, yaitu ahli waris pengganti/keturunan dari ahli waris yang disebutkan pada pasal 174 KHI. Diantara ahli waris pengganti yang disebutkan dalam Buku II adalah :
a)Â Keturunan dari anak mewarisi bagian yang digantikannya.
b)Â Keturunan dari saudara laki-laki/perempuan (sekandung, seayah dan seibu) mewarisi bagian yang digantikannya.
c)Â Kakek dan nenek dari pihak ayah mewarisi bagian dari ayah, masing-masing berbagi sama.
d)Â Kakek dan nenek dari pihak ibu mewarisi bagian dari ibu, masing-masing berbagi sama.
e)Â Paman dan bibi dari pihak ayah beserta keturunannya mewarisi bagian dari ayah apabila tidak ada kakek dan nenek pihak ayah.
f)Â Paman dan bibi dari pihak ibu beserta keturunannya mewarisi bagian dari ibu apabila tidak ada kakek dan nenek pihak ibu. Selain yang tersebut di atas tidak termasuk ahli waris pengganti.
Seiring dengan perkembangannya azas persamaan hak dan kedudukan (equal rightand equal status) maka ketentuan pasal 185 KHI. yang menegaskan: "Ahli Waris yang meninggal lebih dahulu dari pada si pewaris maka kedudukannya dapat digantikan oleh anaknya", kalimat 'anaknya' tersebut dapat dipahami bahwa baik keturunan dari anak laki-laki maupun anak perempuan yang telah meninggal lebih dahulu dari orang tuanya mempunyai kedudukan yang sama.
Dari rumusan bunyi pasal 185 yang mengatur tentang ahli waris pengganti timbul beberapa permasalahan yang mengundang silang pendapat, antara lain mengenai:
a. Apakah penggantian ahli waris bersifat tentatif atau imperatif.
b. Apakah jangkaun garis hukum penggantian ahli waris hanya berlaku untuk ahli waris garis lurus ke bawah atau juga berlaku untuk ahli waris garis menyamping.
c. Apakah ahli waris pengganti menduduki kedudukan orang tuanya secara mutlak atau secara relatif.
Kelompok 4
- Afifah Nur Ramadhani_192121165
- Angga Alvin Kurniawan_222121086
- Karisma Nabila Fatmi_222121104
- Zalfa Qodisah Arindita_222121106
- M. Ayub Cahyono_222121228
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI