Mohon tunggu...
Zalfa Qodisah Arindita
Zalfa Qodisah Arindita Mohon Tunggu... Mahasiswa - mahasiswa

topik konten yang akan kami bawakan mengenai hukum perdata Islam di Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Analisis Sejarah, Makna, Dampak Serta Pendapat Hukum Pencatatan Perkawinan

22 Februari 2024   21:40 Diperbarui: 22 Februari 2024   21:57 110
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sejarah pencatatan pernikahan di Indonesia

Sebelum berlakunya Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, Adriaan Bedner dan Stijn van Huis menjelaskan bahwa pada tahun-tahun sebelum 1974 penduduk Indonesia masih memakai berbagai peraturan perkawinan yang diwarisi dari pemerintah kolonial. Pada masa penjajahan Belanda, pencatatan perkawinan dilakukan oleh pemerintah koloniel. Pada mulanya, pencatatan perkawinan berdasarkan dengan hukum adat yang berlaku, yang kemudian diubah menjadi hukum perdata Belanda. 

Setelah Indonesia merdeka, pemerintah Indonesia mulai mengambil alih pencatatan perkawinan. Pencatatan perkawinan ini terus berkembang hingga sampai pada titik bahwa agama-agama yang diakui di Indonesia seperti islam, Kristen, budha, hinddu, dan konghuchu memiliki sistem pencatatan perkawinan tersendiri. Setiap agama memiliki perbedaan dalam persyaratan dan tata cara pencatatan perkawinan sesuai dengan asas dan tata cara agama masing-masing. Dengan adanya perubahan sosial dan hukum di Indonesia, sistem pencatatan perkawinan juga mengalami perubahan.

Setelah Indonesia merdeka, pencatatan nikah dilaksanakan pada kantor urusan agama (KUA) kecamatan yang memiliki tata cara dan prosedur sesuai dengan KMA 298 tahun 2003 yang disesuaikan dengan PMA 477 tahun 2004 dan disempurnakan dengan PMA nomor 11 tahun 2007 tentang pencatatan nikah. Adapun salah satu dasar yang mengatur hukum pencatatan nikah yaitu pasal 2 ayat (2) Undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan menyatakan bahwa tiap-tiap perkawinan dicatatakan menurut undang-undang yang berlaku. 

Ketentuan tersebut yang kemudian menjadi rujukan mengenai pencatatan perkawinan yang kemudian harus dilaksanakan oleh masyarakat yang sifatnya pencatatannya sama dengan pejadian-kejadian penting dalam kehidupan seperti kematian, kelahiran dan sebagainya. Adapun sumber lainnya yaitu Undang-undang RI nomor 22 tahun 1946 Junto undang-undang RI nomor 32 tahun 1945 tentang pencatatan NTCR, impres 1 tahun 1991 tentang kompilasi hukum islam.

Pentingnya pencatatan perkawinan

Pencatatan perkawinan merupakan salah satu upaya kita dalam menegakkan ketertiban hukum di negeri ini, di mana kita hidup di suatu negara yang memilki hukum ataupun aturan bagi warganya, hal ini juga dapat menjadi strategi pemerintah dalam menciptakan ketertiban sosial.  Pencatatan perkawinan merupakan suatu hal penting karena memiliki manfaat dan fungsi tertentu. Salah satu manfaatnya yaitu agar tidak ada terjadinya penyimpangan daam syarat dan rukun pernikahan baik menurut hukum agama maupun menurut perundang-undangan. 

Sedangkan menurut yuridis, ada beberapa manfaat dari pencatatan perkawinan yaitu: (1) pencatatan perkawinan ini memberikan kepastian hukum baik bagi suami maupun bagi istri, (2) dengan adanya pencatatan perkawinan seorang suami tidak dapat melakukan perbuatan sewenang-wenang kepada istrinya, (3) pencatatan perkawinan akan menjadi bukti kepada masyarakat bahwa laki-laki dan seorang wanita itu sudah menjadi pasangan suami istri secara sah menurut hukum.

Dalam kompilasi hukum islam pasal 5 ayat 1 menyatakan bahwa setiap perkawinan harus dicatat agar terjamin ketertiban perkawinan bagi Masyarakat islam. Sehingga adanya pencatatan perkawinan ini akan menertibkan administrasi pernikahan dalam masyarakat, sehingga jika suatu saat dibutuhkan maka dapat dibuktikan dengan kartu nikah atau akta nikah sebagai bukti tertulis yang otentik serta memiliki kekuatan hukum yang sah berdasarkan undang-undang.

Analisis makna filosofis, sosiologis, religious, dan yuridis pencatatan perkawinan

Secara filosofis perkawinan yang sesuai dengan hukum Islam dan berkaitan dengan Pancasila adalah, khususnya sila pertama yakni Ketuhanan Yang Maha Esa. Pencatatan perkawinan secara filosofis memiliki tujuan untuk merealisasi kan ketertiban dan keadilan bagi semua orang yang bersangkutan Menurut para ahli pada analisis keberlakuan hukum, secara filosofis pencatatan perkawinan adalah untuk memberikan kenyamanan dan kepastian untuk semua orang , kekuatan dan perlindungan hukum terhadap pelaku perkawinan tersebut (suami-istri). Dengan adanya tujuan tersebut ,ketika tidak terpenuhinya pencatatan perkawinan, maka akibat hukumnya adalah tidak memiliki kekuatan hukum dan tidak mendapatkan jaminan hak-hak keperdataan akibat perkawinannya itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun