Mohon tunggu...
hafsah zalfa Rafifah
hafsah zalfa Rafifah Mohon Tunggu... Mahasiswa - mahasiswa ( 23107030096 ) ilmu komunikasi UIN Sunan Kalijaga

Di antara aku,kamu dan senja,kita menuliskan kenagan indah yang berlaku selamanya

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas Pilihan

Menelusuri Keragaman Tradisi Aboge dalam Perayaan Idul Fitri di Tanah Jawa

17 April 2024   22:42 Diperbarui: 17 April 2024   22:43 515
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ariyoyo Warga Desa Leegoksari - sumber gambar dokumen pribadi

Di lereng yang teduh oleh keagungan Gunung Sumbing, terhamparlah dua desa yang menyimpan rahasia kebudayaan yang menakjubkan. Desa Legoksari dan Dusun Langgeng, yang terletak di Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah, merupakan perwakilan yang memesona dari kekayaan budaya yang melekat erat dalam jiwa masyarakat Jawa. 

Setiap sudut desa ini menggambarkan warisan yang tak ternilai dari nenek moyang mereka, yang telah diwariskan dari generasi ke generasi. Memasuki ke dalam kisah mereka seperti menyelami lautan budaya yang tak terbatas, di mana setiap gelombang menampilkan warna-warna kehidupan yang berbeda. Mari kita pergi lebih dalam ke dalam kedalaman cerita mereka, membiarkan diri kita terpesona oleh keunikan aboge dan merenungi perayaan Idul Fitri yang dipenuhi dengan keberagaman.


 Sejarah Aboge: Jejak Sultan Agung dalam Menggabungkan Kalender

Aboge, sebuah inovasi cemerlang dari Sultan Agung, Raja Mataram pada abad ke-17, adalah bukti nyata akan kecerdasan dan kearifan zaman itu. Dalam upayanya untuk menyatukan kalender Gregorian yang dibawa oleh bangsa Eropa dan kalender Hijriah yang dikenal oleh masyarakat Islam, Sultan Agung memimpin penciptaan aboge, sebuah sistem penanggalan yang melampaui batas-batas waktu dan budaya. Dengan menggabungkan unsur-unsur dari dua kalender yang berbeda, aboge menciptakan Satu Windu, sebuah periode delapan tahun yang menjadi landasan bagi pengaturan waktu dan perayaan masyarakat Jawa.

Dalam jangka waktu delapan tahun Satu Windu, masyarakat Jawa memiliki alat yang efektif untuk mengatur ritme kehidupan sehari-hari mereka. Setiap tahun dalam Satu Windu memiliki simbol atau kode yang disingkat untuk memudahkan pengingatan, memberikan identitas yang unik untuk setiap periode waktu tersebut. Dengan demikian, aboge tidak hanya menjadi penanda waktu, tetapi juga menyimpan nilai-nilai dan kearifan yang terkandung dalam budaya Jawa, memancarkan keindahan yang tak terukur dalam keseharian masyarakat.

Tak hanya sebagai alat pengatur waktu, aboge juga menjadi landasan bagi perayaan-perayaan penting dalam kehidupan masyarakat Jawa. Dengan menetapkan titik acuan yang jelas dalam Satu Windu, seperti 1 Suro tahun Alif, aboge membimbing masyarakat dalam merayakan peristiwa-peristiwa seperti Idul Fitri dengan penuh kesederhanaan dan kebijaksanaan. Perayaan tersebut menjadi momen penting dalam menghargai tradisi nenek moyang dan mengenang sejarah yang telah membentuk identitas mereka sebagai bangsa yang kuat dan teguh.

Dengan demikian, aboge tidak hanya sekadar alat pengukur waktu, tetapi juga menjadi cerminan dari kearifan dan kebijaksanaan zaman yang telah melintasi batas-batas waktu dan ruang. Di dalamnya terkandung nilai-nilai yang mendalam, yang terus diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya, membentuk fondasi yang kuat bagi kehidupan masyarakat Jawa yang beragam dan kaya akan tradisi.


Penjelasan Tanggalan Aboge: Simbolisme di Balik Satu Windu

Satu Windu, dalam konteks aboge, tidak sekadar menggambarkan serangkaian tahun dalam kalender Jawa, tetapi juga menjadi cerminan dari kearifan dan simbolisme yang kaya dalam budaya Jawa. Di dalamnya terkandung makna-makna yang mendalam, yang mengajak kita untuk merenung dan memahami hubungan kompleks antara waktu, ruang, dan tradisi.

Setiap tahun dalam Satu Windu memiliki kode simbolis yang unik, mencerminkan pemahaman mendalam akan perjalanan hidup dan siklus alam. Misalnya, ketika kita melangkah ke tahun Alif, awal dari Satu Windu, dan menemukan bahwa hari pembuka bulan dimulai pada hari Rabu, ini tidak hanya sekadar kenyataan kalender, tetapi juga menyiratkan makna filosofis tentang permulaan yang diawali dengan kebijaksanaan dan keseimbangan.

Namun, saat kita menjelajahi tahun-tahun berikutnya dalam Satu Windu, kita menemukan variasi dalam hari pembuka bulan, sesuai dengan kode tahunnya masing-masing. Hal ini mencerminkan konsep tentang perubahan yang tidak dapat dihindari dalam kehidupan, serta penghargaan terhadap dinamika yang ada di balik setiap momen. Aboge, dengan demikian, bukan hanya sekadar alat untuk mengatur waktu, tetapi juga sebuah karya seni budaya yang hidup, merangkum kebijaksanaan dan kekayaan budaya Jawa dalam setiap detilnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun