budaya yang melekat erat dalam jiwa masyarakat Jawa.Â
Di lereng yang teduh oleh keagungan Gunung Sumbing, terhamparlah dua desa yang menyimpan rahasia kebudayaan yang menakjubkan. Desa Legoksari dan Dusun Langgeng, yang terletak di Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah, merupakan perwakilan yang memesona dari kekayaanSetiap sudut desa ini menggambarkan warisan yang tak ternilai dari nenek moyang mereka, yang telah diwariskan dari generasi ke generasi. Memasuki ke dalam kisah mereka seperti menyelami lautan budaya yang tak terbatas, di mana setiap gelombang menampilkan warna-warna kehidupan yang berbeda. Mari kita pergi lebih dalam ke dalam kedalaman cerita mereka, membiarkan diri kita terpesona oleh keunikan aboge dan merenungi perayaan Idul Fitri yang dipenuhi dengan keberagaman.
 Sejarah Aboge: Jejak Sultan Agung dalam Menggabungkan Kalender
Aboge, sebuah inovasi cemerlang dari Sultan Agung, Raja Mataram pada abad ke-17, adalah bukti nyata akan kecerdasan dan kearifan zaman itu. Dalam upayanya untuk menyatukan kalender Gregorian yang dibawa oleh bangsa Eropa dan kalender Hijriah yang dikenal oleh masyarakat Islam, Sultan Agung memimpin penciptaan aboge, sebuah sistem penanggalan yang melampaui batas-batas waktu dan budaya. Dengan menggabungkan unsur-unsur dari dua kalender yang berbeda, aboge menciptakan Satu Windu, sebuah periode delapan tahun yang menjadi landasan bagi pengaturan waktu dan perayaan masyarakat Jawa.
Dalam jangka waktu delapan tahun Satu Windu, masyarakat Jawa memiliki alat yang efektif untuk mengatur ritme kehidupan sehari-hari mereka. Setiap tahun dalam Satu Windu memiliki simbol atau kode yang disingkat untuk memudahkan pengingatan, memberikan identitas yang unik untuk setiap periode waktu tersebut. Dengan demikian, aboge tidak hanya menjadi penanda waktu, tetapi juga menyimpan nilai-nilai dan kearifan yang terkandung dalam budaya Jawa, memancarkan keindahan yang tak terukur dalam keseharian masyarakat.
Tak hanya sebagai alat pengatur waktu, aboge juga menjadi landasan bagi perayaan-perayaan penting dalam kehidupan masyarakat Jawa. Dengan menetapkan titik acuan yang jelas dalam Satu Windu, seperti 1 Suro tahun Alif, aboge membimbing masyarakat dalam merayakan peristiwa-peristiwa seperti Idul Fitri dengan penuh kesederhanaan dan kebijaksanaan. Perayaan tersebut menjadi momen penting dalam menghargai tradisi nenek moyang dan mengenang sejarah yang telah membentuk identitas mereka sebagai bangsa yang kuat dan teguh.
Dengan demikian, aboge tidak hanya sekadar alat pengukur waktu, tetapi juga menjadi cerminan dari kearifan dan kebijaksanaan zaman yang telah melintasi batas-batas waktu dan ruang. Di dalamnya terkandung nilai-nilai yang mendalam, yang terus diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya, membentuk fondasi yang kuat bagi kehidupan masyarakat Jawa yang beragam dan kaya akan tradisi.
Penjelasan Tanggalan Aboge: Simbolisme di Balik Satu Windu
Satu Windu, dalam konteks aboge, tidak sekadar menggambarkan serangkaian tahun dalam kalender Jawa, tetapi juga menjadi cerminan dari kearifan dan simbolisme yang kaya dalam budaya Jawa. Di dalamnya terkandung makna-makna yang mendalam, yang mengajak kita untuk merenung dan memahami hubungan kompleks antara waktu, ruang, dan tradisi.
Setiap tahun dalam Satu Windu memiliki kode simbolis yang unik, mencerminkan pemahaman mendalam akan perjalanan hidup dan siklus alam. Misalnya, ketika kita melangkah ke tahun Alif, awal dari Satu Windu, dan menemukan bahwa hari pembuka bulan dimulai pada hari Rabu, ini tidak hanya sekadar kenyataan kalender, tetapi juga menyiratkan makna filosofis tentang permulaan yang diawali dengan kebijaksanaan dan keseimbangan.
Namun, saat kita menjelajahi tahun-tahun berikutnya dalam Satu Windu, kita menemukan variasi dalam hari pembuka bulan, sesuai dengan kode tahunnya masing-masing. Hal ini mencerminkan konsep tentang perubahan yang tidak dapat dihindari dalam kehidupan, serta penghargaan terhadap dinamika yang ada di balik setiap momen. Aboge, dengan demikian, bukan hanya sekadar alat untuk mengatur waktu, tetapi juga sebuah karya seni budaya yang hidup, merangkum kebijaksanaan dan kekayaan budaya Jawa dalam setiap detilnya.
Dengan memahami simbolisme di balik Satu Windu, kita dapat melihat bagaimana aboge tidak hanya menjadi penanda waktu, tetapi juga menjadi jendela ke dalam pemahaman yang lebih dalam tentang filsafat dan kebijaksanaan budaya Jawa. Ini mengajak kita untuk menyelami makna-makna yang terkandung dalam tradisi nenek moyang, dan merenungkan bagaimana warisan budaya ini terus memengaruhi dan membentuk pandangan hidup kita hari ini.
Tradisi di Desa Legoksari: Menjaga Api Budaya Tetap Berkobar
Setelah sholat Eid, mereka berkumpul di lapangan untuk mengadakan "kepungan ariyoyo", sebuah acara syukuran yang diiringi dengan doa-doa, kemudian mereka makan bersama-sama. Menurut wawancara dengan tokoh adat Dusun Legoksari, Bapak Luqman Sutopo   Â
 " tradisi ini telah diakui dan disepakati oleh semua warga desa. Tidak ada yang melanggar peraturan adat yang turun-temurun tersebut. Generasi muda juga telah diajarkan dan ditanamkan tentang adat ini sejak dini ".
Dusun Legoksari berusaha menjaga agar budaya nenek moyang tetap terjaga dan dikenang, mereka mengadakan "slametan" setiap pergantian bulan dalam penanggalan pranotomongso. Pemerintah desa juga membagikan penanggalan pranotomongso kepada seluruh masyarakat Dusun Legoksari. Sejak dulu hingga sekarang, Desa Legoksari tetap mempertahankan warisan adat istiadat Jawa dengan baik.
 Tradisi di Dusun Langgeng: Tantangan dan Keanekaragaman
lebaran. Di desa ini, ada dua kelompok,satu kelompok mengikuti tradisi aboge, sedangkan kelompok lain mengikuti penetapan resmi pemerintah melalui sidang isbat.
Pada hari raya, orang-orang yang mengikuti ketetapan pemerintah akan membuka rumah mereka untuk menerima tamu sebagai bagian dari tradisi silaturahmi. Sementara itu, warga yang mempercayai aboge akan tetap menutup pintu rumah mereka dan belum merayakan Idul Fitri.
Pada awalnya, semua warga di Dusun Langgeng merayakan Idul Fitri sesuai dengan penanggalan aboge. Namun, pada tahun 2013, mulai muncul protes dari warga yang tidak mengikuti tradisi aboge untuk merayakan Idul Fitri sesuai dengan ketetapan pemerintah. Setelah dilakukan rapat bersama, mayoritas warga sepakat untuk mengikuti penetapan pemerintah, meskipun sebagian sesepuh yang masih memegang teguh tradisi aboge tetap pada pendiriannya.
Akibatnya, terjadi perpecahan dalam perayaan Idul Fitri di Desa Langgeng. Hanya generasi keturunan penganut aboge yang tetap merayakan berdasarkan aboge, sementara yang lain mengikuti ketetapan pemerintah.
Menurut Anwar Hudhori, seorang mahasiswa Manajemen Dakwah di UIN Sunan Kalijaga yang tinggal di Dusun Langgeng sejak kecil, "Generasi muda cenderung mengikuti yang sudah diatur oleh agama dan kebiasaan yang umum, sementara sesepuh yang masih memegang tradisi aboge tidak menjelaskan apa alasan menganut aboge dan bagaimana asal muasal tradisi aboge."hal ini menunjukkan adanya kurangnya komunikasi di Dusun Langgeng, di mana sesepuh hanya menetapkan keputusan tanpa memberikan penjelasan yang memadai kepada masyarakat, berbeda dengan Desa Legoksari di mana para sesepuh dan perangkat desa memberikan penjelasan yang komprehensif kepada masyarakat.
 Melestarikan Budaya: Tanggung Jawab Bersama
Dalam menghadapi tantangan dan dinamika yang ada, penting bagi kita untuk memahami bahwa melestarikan budaya adalah tanggung jawab bersama. Melalui pendidikan, apresiasi, dan dialog, kita dapat memastikan bahwa warisan budaya nenek moyang kita tetap hidup dan berkembang. Aboge dan perayaan Idul Fitri yang beragam adalah bagian integral dari identitas kita sebagai bangsa yang kaya akan budaya.
 Kesimpulan: Melangkah Bersama dalam Kekayaan Budaya Jawa
Dalam setiap detil kehidupan sehari-hari di Desa Legoksari dan Dusun Langgeng, kita melihat cerminan yang indah dari kekayaan budaya Jawa. Dari aboge yang mencerminkan ketangguhan dan kebijaksanaan Sultan Agung hingga perayaan Idul Fitri yang menggambarkan dinamika dan keanekaragaman masyarakat Jawa, setiap aspek kehidupan ini memperkaya kita sebagai manusia. Mari kita bersama-sama merangkul warisan budaya kita, dan dengan itu, kita akan merangkul masa depan yang cerah dan penuh makna.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H