Dengan memahami simbolisme di balik Satu Windu, kita dapat melihat bagaimana aboge tidak hanya menjadi penanda waktu, tetapi juga menjadi jendela ke dalam pemahaman yang lebih dalam tentang filsafat dan kebijaksanaan budaya Jawa. Ini mengajak kita untuk menyelami makna-makna yang terkandung dalam tradisi nenek moyang, dan merenungkan bagaimana warisan budaya ini terus memengaruhi dan membentuk pandangan hidup kita hari ini.
Tradisi di Desa Legoksari: Menjaga Api Budaya Tetap Berkobar
Setelah sholat Eid, mereka berkumpul di lapangan untuk mengadakan "kepungan ariyoyo", sebuah acara syukuran yang diiringi dengan doa-doa, kemudian mereka makan bersama-sama. Menurut wawancara dengan tokoh adat Dusun Legoksari, Bapak Luqman Sutopo   Â
 " tradisi ini telah diakui dan disepakati oleh semua warga desa. Tidak ada yang melanggar peraturan adat yang turun-temurun tersebut. Generasi muda juga telah diajarkan dan ditanamkan tentang adat ini sejak dini ".
Dusun Legoksari berusaha menjaga agar budaya nenek moyang tetap terjaga dan dikenang, mereka mengadakan "slametan" setiap pergantian bulan dalam penanggalan pranotomongso. Pemerintah desa juga membagikan penanggalan pranotomongso kepada seluruh masyarakat Dusun Legoksari. Sejak dulu hingga sekarang, Desa Legoksari tetap mempertahankan warisan adat istiadat Jawa dengan baik.
 Tradisi di Dusun Langgeng: Tantangan dan Keanekaragaman
lebaran. Di desa ini, ada dua kelompok,satu kelompok mengikuti tradisi aboge, sedangkan kelompok lain mengikuti penetapan resmi pemerintah melalui sidang isbat.
Pada hari raya, orang-orang yang mengikuti ketetapan pemerintah akan membuka rumah mereka untuk menerima tamu sebagai bagian dari tradisi silaturahmi. Sementara itu, warga yang mempercayai aboge akan tetap menutup pintu rumah mereka dan belum merayakan Idul Fitri.
Pada awalnya, semua warga di Dusun Langgeng merayakan Idul Fitri sesuai dengan penanggalan aboge. Namun, pada tahun 2013, mulai muncul protes dari warga yang tidak mengikuti tradisi aboge untuk merayakan Idul Fitri sesuai dengan ketetapan pemerintah. Setelah dilakukan rapat bersama, mayoritas warga sepakat untuk mengikuti penetapan pemerintah, meskipun sebagian sesepuh yang masih memegang teguh tradisi aboge tetap pada pendiriannya.
Akibatnya, terjadi perpecahan dalam perayaan Idul Fitri di Desa Langgeng. Hanya generasi keturunan penganut aboge yang tetap merayakan berdasarkan aboge, sementara yang lain mengikuti ketetapan pemerintah.
Menurut Anwar Hudhori, seorang mahasiswa Manajemen Dakwah di UIN Sunan Kalijaga yang tinggal di Dusun Langgeng sejak kecil, "Generasi muda cenderung mengikuti yang sudah diatur oleh agama dan kebiasaan yang umum, sementara sesepuh yang masih memegang tradisi aboge tidak menjelaskan apa alasan menganut aboge dan bagaimana asal muasal tradisi aboge."hal ini menunjukkan adanya kurangnya komunikasi di Dusun Langgeng, di mana sesepuh hanya menetapkan keputusan tanpa memberikan penjelasan yang memadai kepada masyarakat, berbeda dengan Desa Legoksari di mana para sesepuh dan perangkat desa memberikan penjelasan yang komprehensif kepada masyarakat.
 Melestarikan Budaya: Tanggung Jawab Bersama