Notes : Artikel ini tentang akademik, tidak mengkreditkan orang yang punya nilai rendah, setiap orang punya sisi kelebihan di akademik atau non akademik
“Jadi pintar gimana, sih?”
“Kok otak kamu encer banget? Belajar terus, ya?”
Well, rasanya jadi orang pintar ya sebenarnya pusing, banyak ide dalam otak, apa-apa dipikir dulu. Ya, dari kecil hobiku membaca, lebih tepatnya ibuku yang menyuruhku membaca macam-macam buku. Tiada hari tanpa belajar. Main boleh tapi diatur waktunya. Kalau ditanya orang cita-citaku apa, pasti jawabannya selalu dokter, kenapa? Ibuku pernah cerita,
“Jadi dokter hebat, Kak, bisa bantu banyak orang, makanya, kakak harus rajin belajar, ya, dapat nilai bagus, harus dapat ranking kelas.”
Dengan anggapan seperti itu, harapan dan mimpi yang kubawa dari kecil kuusahakan sungguh-sungguh untuk membuat ibuku senang setiap pembagian rapor. Usaha belajar sudah aku maksimalkan, dapat nilai UN yang bagus dan mendaftar ke sekolah negeri favorit SMP dan SMA, selalu kuusahakan setiap ulangan dapat nilai 90 atau 100, selalu mengerjakan tugas sekolah, menjadi murid teladan.
Mungkin karena ada bakat dan gen kepintaran dari ibuku yang selalu kritis dalam menghadapi persoalan hidup menurun padaku dan adikku.Dulu, ibuku seorang asisten riset di LIPI Cibinong. Beliau begitu menyukai bidang pekerjaan nya menjadi seorang peneliti laboratorium yang berkaitan dengan mikroorganisme seperti kultur bakteri dan fermentasi. Makhluk hidup kecil yang tidak bisa kita lihat secara langsung tapi harus pakai mikroskop dengan perbesaran lensa tertentu yang baru bisa terlihat ternyata indah. Warna-warni dengan bentuk beraneka macam.
tim peneliti ibuku sangat kecewa saat itu, ia mengira ibuku telah melakukan kesalahan fatal, padahal ibuku telah sesuai mengerjakan penelitian dengan benar. Ibuku juga gagal pergi ke luar negeri karena operasi usus buntu.
Walaupun sesuai passion, ibuku merasa gaji yang didapat setiap bulan sangat pas-pasan sekitar Rp 150.000, hanya cukup untuk ongkos bolak-balik dari Jakarta ke Bogor setiap hari dan makan. Sangat minim. Ibuku punya cita-cita yang sangat tinggi, dulu beliau ingin melanjutkan pendidikan S2, S3, dan pergi ke luar negeri. Seseorang yang sangat idealis, realistis, dan perfeksionis. Namun, Allah berkehendak lain. Ketika karier ibuku sedang menaik dan mendapat rekomendasi pergi ke luar negeri, sayang nya, salah seorang teman peneliti memalsukan hasil data penelitian yang dilakukan ibuku. Kepala
Menjadi salah satu anggota tim peneliti yang perfeksionis cukup berat. Sangat tepat waktu, ambisius, dan jarang mengobrol hal-hal tidak penting – jarang tertawa, jarang basa-basi. Ketua peneliti terkesan seperti robot. Waktunya makan istirahat selesai, tidak ada yang santai-santai, rekan peneliti langsung ambil jas lab dan melanjutkan kerja penelitian. Ibuku sadar, waktunya mengaji jarang, sholat pun seperlunya hanya sholat wajib, terasa hampa di hati, ada ketenangan yang hilang. Sedangkan dulu masa muda ibuku sering sholat tahajud, puasa sunnah, mengaji bersama teman liqo. Terlalu fokus pada pekerjaan lama-kelamaan membuat ibuku tertekan.
Sejak saat itu, ibuku terkena depresi, perasaan kecewa sangat berat, impian-impian yang diinginkan tidak tercapai. Hampir setahun lamanya, ibuku memikirkan dengan ringan kata-kata besok mati, ya?
Waktu terus berjalan. Berbulan-bulan, ibuku sementara berhenti dari tugas penelitiannya di LIPI, pergi ke psikolog, minum obat penenang. Adiknya suatu hari mengajak ibuku jalan-jalan. Lambat laun, ibuku mulai pulih dari depresi. Beliau mulai datang ke kajian majelis ilmu, mendengar ceramah di masjid Al Azhar, sambil berdoa semoga bisa pulih, sehat jiwanya, fisik dan mental seperti dulu.
Alhamdulillah, Allah mengabulkan doa hambanya. Ibuku sehat kembali. Kemudian, beliau melanjutkan pekerjaan nya menjadi peneliti di tim yang sama. Namun, tim peneliti yang dulu seolah-olah sudah tidak membutuhkan ibuku lagi. Beliau dipindahkan ke tim peneliti lain.Tim peneliti yang baru ternyata berbeda, menyambut kedatangan ibuku dengan hangat. Tidak seperti tim peneliti lama yang ambisi dan penuh disiplin, tim peneliti yang baru tidak terlalu kaku. Makan bersama sambil berbincang-bincang, sesekali tertawa. Dalam pekerjaan juga sama, kalau sudah lelah, boleh istirahat.
Namun, beberapa tahun kemudian, ibuku memutuskan berhenti dari peneliti, beliau ingin mencoba pekerjaan lain, tidak mudah memang, mencoba jadi guru sekolah dan sampai saat ini, ibuku menjadi seorang pendiri dan pengajar bimbingan belajar di rumah. Kadang-kadang aku ikut membantu mengajar saat kuliah sedang tidak banyak tugas, sambil mengingat-ingat pelajaran sekolah yang pernah kudapat.
Jurusanku saat ini memang bukan Pendidikan dokter atau kedokteran, karena setelah lulus SMA, banyak pertimbangan dari ibu dan ayahku mengenai biaya kuliah yang cukup mahal dan waktu studi yang sangat lama, sehingga aku mencari jurusan lain.
Tidak apa-apa kak, ngga jadi dokter, banyak berita anak koas yang dibully senior, ada yang sampai bunuh diri karena sudah tidak kuat. Naudzubillah. Mungkin ini jalan yang terbaik buat kakak. Perlahan aku mulai menyadari tidak hanya dokter, tetapi semua pekerjaan bisa mulia tergantung niat dan usaha yang dilakukan, semoga Allah mudahkan dalam kebaikan, aamiin
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H