"Manusia kadang-kadang memang harus mengalami kejutan hebat dalam hidupnya supaya dia menyadari kehadiran Allah dan semakin dekat kepada-Nya. " (Alif hal 138)
Novel ini menceritakan dua tokoh utama bernama Alif dan Arum. Alif adalah seorang pemuda yang kesepian sejak ibunya meninggal karena kecelakaan. Ia sangat jauh dari agama, hobi minum alkohol dan bermain motor. Padahal dulu, ibunya mengajarkan Alif mengenal nama-nama asmaul husna saat meminta pertolongan.
Sedangkan Arum adalah seorang wanita yang ringkih dan wajah pucat karena penyakit kanker tulang osteosarcoma, penyakit kanker tulang yang umumnya menyerang anak usia remaja (hal 49). Ayah dan ibunya adalah tipe orang tua sibuk dengan pekerjaan nya masing-masing. Ayahnya seorang kepala lapas penjara dan ibunya seorang dokter perfeksionis yang lebih suka materi. Mereka bertemu di rumah hanya ketika penyakit Arum kambuh dan parah, kemudian berselisih saling menyalahkan. Arum lebih dekat dengan ayahnya yang sering mengajak Arum mengunjungi penjara, melihat para narapidana yang diberi berbagai macam pelatihan.
Kemudian suatu hari, Alif bertemu dengan Arum di sebuah mal perbelanjaan. Alif dengan tingkah berengsek nya menabrak Arum sedang membawa paket nasi ayam untuk anak-anak asuh di rumah singgah. Terjadilah adu mulut. Merasa jadi perhatian orang banyak akhirnya Arum berhenti memarahi Alif yang mengejeknya dengan kata-kata parfum bau matahari. Kemudian teman Arum, Tantri mengajaknya kembali membeli paket promo nasi ayam. Melihat anak-anak asuh senang, Arum bisa melupakan kejadian Alif yang berbuat kerusuhan di mal.
"Bahagia ada dengan berbagi. Anak-anak memberinya energi, semangat hidup. Allah, Al Wakil... Yang Maha Memelihara. Ar-Ra'uuf... Maha Pengasuh. Sebenarnya yang dilakukan setiap hamba hanya meneruskan semangat di balik setiap nama-Nya. " (Arum hal 33)
Seiring berjalannya waktu, Alif disibukkan dengan bisnis orangtuanya yaitu kontrakan dan lahan parkiran, mewarisi dari kakek nya orang Betawi asli dan ayahnya. Namun, saudara dari ibunya banyak yang menaruh iri dan tidak suka terhadap pekerjaan bisnis ayahnya.
Tak lama kemudian, ayahnya wafat. Semua bisnis Alif diambil alih saudara ibunya yang telah lama ingin merebut. Alif difitnah habis-habisan dengan tuduhan palsu sehingga ia mendekam dalam sel penjara selama beberapa bulan. Di penjara, Alif sering berkelahi dengan narapidana lain menyisakan beberapa luka di bagian wajah. Kemudian, ia merasa kehadiran seorang yang berbeda, bapak tua yang berwajah sangar namun teduh, lebih banyak diam dan membaca buku. Namanya Pak Dahlan. Beliau sedikit-sedikit memberi perhatian dan nasihat pada Alif yang telah jauh dari agama. Mengajaknya ke masjid, mengenalkan dengan penghuni penjara lain bernama Irham, pencetak sablon kaos bertuliskan dakwah yang memiliki kisah kelam. Ia seorang pembunuh tiga orang sekaligus karena membela ibunya yang terlilit hutang oleh rentenir. Sebenarnya alasan apapun, membunuh termasuk perbuatan yang kejam, tapi demi ibunya, Irham melakukan sesuatu di luar kendali. Ia dihukum seumur hidup dalam penjara. Setelah dipenjara, ia menyesal dan sering berdiam diri di pojokan masjid, tidak banyak berbicara dengan siapapun. Setelah 1 tahun, Irham mencoba mengikuti pelatihan yang disediakan dalam penjara seperti bisnis pulsa, menanam sayur dan mencetak sablon kaos. Sejak saat itu, ia mulai berkenalan dengan penghuni penjara lain yang menjadi pelanggan nya, salah satunya Pak Dahlan.Â
"Kalau punya landasan hidup yang baik, bagaimana pun sesat dan terjal jalan yang kamu lalui, kamu akan dengan mudah bisa kembali saat ingin pulang." Â (Pak Dahlan hal 140)
Alif kemudian berkenalan dengan Irham sambil berbincang-bincang mengenai usaha sablon kaos dakwah yang membuat Alif tertarik. Alif kemudian ingin bertanya kenapa Irham susah payah mengumpulkan uang, Irham bercerita ia punya seorang adik perempuan yang terkena gangguan pada otak sehingga tidak bisa mengurus keperluan sendiri tanpa bantuan orang lain, selain itu, Irham memiliki niat untuk membantu anak-anak pesantren yang letaknya dekat dari penjara. Alif pun semakin kagum pada kebaikan yang dilakukan Irham dan perlahan menyadari betapa egoisnya dia setelah kehilangan ibunya, ia menjadi seorang yang brutal dan tidak memperhatikan nasihat ayahnya selama hidup.
"Dosa saya banyak, harus banyak pula kebaikan yang dikerjakan untuk menebusnya." (Irham hal 140)