Oleh : Syamsul Hidayat dan Zalfah Maulida K
Dosen dan Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Melihat tiga inti ajaran Islam, yaitu akidah, syariah, dan akhlak, keilmuan seorang dai harus mencakup ketiga aspek tersebut, yang sering disebut sebagai tiga pilar dakwah.
Pertama, keilmuan terkait akidah atau keimanan. Akidah mencakup lebih dari sekadar tauhid (mengesakan Allah); tauhid adalah bagian dari akidah. Akidah meliputi keimanan kepada Allah, rasul-rasul-Nya, kitab-kitab-Nya, malaikat, hari kiamat, takdir, dan lainnya. Dalam Islam, terdapat beberapa aliran seperti Khawarij, Mu'tazilah, Asy'ariyah, Maturidiyah, dan Wahabiyah. Meskipun semua aliran ini sama-sama mengesakan Allah, mereka memiliki pandangan berbeda dalam akidah.
Seorang dai perlu memahami minimal aliran yang dianutnya, tokoh-tokohnya, serta pendapat-pendapat utama. Misalnya, pemahaman tentang perbuatan Allah dan manusia, serta konsep-konsep tentang alam, surga, neraka, beserta argumen masing-masing. Idealnya, seorang dai mengetahui perbedaan dan persamaan di antara berbagai aliran ini.
Untuk itu, seorang dai harus mendalami al-Qur'an dan ilmu tafsir, hadits dan ilmu hadits, sejarah, serta pertumbuhan dan perkembangan teologi Islam. Selain itu, pengetahuan tentang manhaj, madzhab, organisasi massa, dan partai dengan memahami persamaan dan perbedaan masing-masing juga penting.
Kedua, keilmuan terkait syariah. Syariah berbeda dengan fikih. Syariah adalah hukum Islam yang diambil langsung dari al-Quran dan Sunah (bukan produk ijtihad), sedangkan fikih adalah hasil ijtihad ulama mengenai hukum Islam yang bersumber dari al-Quran dan Sunah. Seorang dai harus menguasai al-Qur'an, hadits Nabi, dan literatur fikih dari berbagai periode (klasik, pertengahan, dan kontemporer).
Dalam konteks ini, syariah, fikih, dan ibadah dapat dibedakan. Ibadah adalah bagian dari fikih, sehingga ada literatur yang membahas fikih ibadah, fikih muamalah, fikih politik, dan sebagainya.
Ketiga, keilmuan terkait akhlak. Akhlak berbeda dengan tasawuf; akhlak berkaitan dengan perilaku lahiriah, sedangkan tasawuf dengan perilaku batiniah. Seorang dai harus mampu membedakan antara akhlak yang baik (mahmudah) dan yang buruk (mazmumah). Akhlak seorang dai idealnya berkembang menjadi tasawuf seorang dai, karena dai adalah panutan bagi mad'u.
Idealnya, seorang dai dapat memetakan dirinya dalam akidah (aliran kalam), syariah (madzhab fikih), dan akhlak (tasawuf). Misalnya, seorang dai mungkin memiliki pemikiran kalam yang dinamis karena teologi Asy'ariyah, sisi mistik yang energik karena bertasawuf akhlaki ala al-Ghazali, dan pendekatan hukum yang rasional-juristik karena bermazhab fikih Syafi'i.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H