"Kenapa orang bodoh ingin terlihat pintar dan sebaliknya, orang pintar sering merasa bodoh?"
Kau tak perlu berpikir hingga membuang energimu secara percuma untuk memberi sebuah jawaban. Sebab, pertanyaan itu bukan untukmu.
Pertanyaan Itu bermula dari sepotong kertas berwarna biru tua, yang kutulis dengan huruf besar dan spidol berwarna hitam.
Kertas itu sudah terpaku di langit-langit kamarku, selama dua belas purnama. Kau pasti mengerti, usia tulisan itu sudah satu tahun, ketika kaubaca cerita ini.
Sesungguhnya, tak hanya satu potongan kertas. Masih ada sebelas potongan kertas dengan ukuran serupa. Namun, dengan kata-kata yang berbeda di langit-langit kamarku.
Jika kau menduga bahwa kertas-kertas itu adalah tulisan pendek tentang harapanku selama setahun, kau benar!
Di antara sebelas harapan itu: Tetap sehat, makan lebih teratur, kurangi begadang, menyelesaikan kerja tepat waktu, hingga menyisihkan waktu untuk menulis.
Sejak korona datang dan enggan pulang, kesehatan menjadi harapan utamaku tahun lalu. Bagaimana bisa melakukan harapan yang lain, jika aku tak memiliki kesehatan. Sisanya? Cukup aku yang tahu. Aku pasti akan malu jika kuujarkan semuanya padamu.
Jika kau berkata: Harusnya harapan utama adalah tetap hidup. Kau keliru!
Pertama: Urusan tetap hidup dan tidak lagi hidup itu bukan kekuasaanku, tapi Tuhan. Kedua: Kau lupa? Hanya orang-orang hidup yang memiliki harapan!