"Payung?"
"Kan, gak hujan?"
Usaha sia-sia. Tatapanmu mengunci mulutku. Tanpa suara, aku berbalik badan, kembali membuka pintu rumah. Samar, telingaku mendengar nada tawamu yang tertahan di balik punggungku.
Entah apa yang dipikirkan oleh orang-orang, sehingga menciptakan mahakarya bernama payung. Benda itu tidak tiba-tiba menjadi kebutuhan di musim hujan. Termasuk dirimu.
Bagiku, keberadaan payung adalah pengganggu.
"Mas lupa? Sedia payung sebelum..."
***
"Semakin deras, Mas!"
Langkah kakimu menari lincah menghindari genangan air di sepanjang trotoar. Tangan kananmu mencengkram lengan kiriku. Dan, tangan kiriku menggenggam gagang payung, agar tubuhmu terlindung.
"Aku menyukai hujan!"
"Kenapa masih butuh payung?"
Kurasakan perih di lengan kiriku. Cubitanmu memberi tahu, percuma untuk bertanya tentang caramu menyukai hujan.