Dengan satu pukulan keras di kepala, pertarungan itu berakhir. Sapi Bali berwarna gelap itu menyerah kalah. Tubuh berukuran besar itu hanya bisa pasrah, saat tali tambang berwarna hijau yang terjulur di hidungnya, ditarik kembali ke kandang.
Lelaki itu masih berdiri gagah di depan kandang. Ada luka robek yang cukup dalam di dada sebelah kiri, baju kaos putih yang dikenakan berganti merah darah. Kemudian terjatuh kehabisan nafas dan dinyatakan mati, saat ingin memberi rumput gajah untuk sapi yang mengamuk itu.
"Sejak kematian ayahku, Gang Sapi hanya tinggal nama!" Engkong menutup kisah.
Nyala api di mata lelaki tua yang berada hadapanku lenyap tak berjejak. Tak ada kilat cahaya seperti saat berkisah tentang pertarungan sang Ayah dengan sapi. Atau mengulang kenangan, kala bermain dan berenang di sungai dekat kuburan sambil memandikan sapi.
Mata tua itu semakin redup, saat kembali bersuara.
"Begitulah hidup. Hanya menyisakan nama. Kau pernah dengar daerah bernama Rawa Bebek? Apakah di sana masih ada rawa dan bebek?"
Aku memilih mereguk sisa kopi dingin. Sejenak, membiarkan sisa hujan menguasai sepi.
"Besok aku bawakan sepasang bebek untuk Engkong!"
"Hah?"
***
"Kau gila!"