*
Sepasang kaki letih menjuntai di lantai
Meninggalkan sepasang sandal tua yang berlumur tanah merah
Airmata pagi telah dikeringkan matahari
Bersiap menahan mendung hingga malam ketiga
Untuk cerita yang tersisa, dan untaian doa
Kaki-kaki tetangga lalu lalang di halaman
Membentang benda yang mereka sebut tenda
Melindungi seratus dua puluh kursi sewaan, dan sebelas bangku pinjaman
Satu senyuman terus bertahan, menyimak satu bisikan pelan orang-orang yang datang dan pulang, turut berduka
**
Satu potret usang terpampang di atas meja tua
Membawa pulang ingatan yang enggan menimbang lupa
Tentang dua pertanyaan yang menjadi awal mula cerita
Jika tumpukan keluh tumpang tindih dengan peluh
Butuh cara menepis amarah, melupakan darah, dan menghadirkan gairah
Maka berdengung tanya, kau mau?
Butuh cara menepis ragu, melupakan pilu, dan menghindarkan malu
Maka berdenging tanya, kau mampu?
Hingga segumpal hati memilih batu
Menjauhkan sauh rindu ke dinding waktu
Dulu
***
Sejak kemarin
Tak lagi ada rangkaian cerita dan untaian doa
Tergulung dalam benda yang mereka sebut tenda
Sepasang kaki meninggalkan rumah
Mengajak sepasang sandal mengeja perjalanan tanpa arah
Berpaling dari pertanyaan tetangga, kau masih berduka?
Sejak kemarin
Tak lagi berbeda embun dan airmata
Tersamar di antara aroma mawar dan kelopak kamboja
Sepasang kaki letih menanggalkan rasa
Mengajak sepasang sandal tua mengeja kata
Berharap tak pernah lahir sebuah tanya, di mana Ayah?
****
Aku menatap wajah bisu
Wajah yang kau sapa ibu
Curup, 14.06.2021
zaldy chan
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI