Mohon tunggu...
zaldy chan
zaldy chan Mohon Tunggu... Administrasi - ASN (Apapun Sing penting Nulis)

cintaku tersisa sedikit. tapi cukup untuk seumur hidupmu

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Bilang Anakku, "Ayah Pasti Menyesal, Jika Tak Mengenal Tzuyu!"

7 Juni 2021   22:29 Diperbarui: 7 Juni 2021   23:03 590
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi konser musik (sumber gambar: pixabay.com)

"Grup BTS bubar, Nakdis!"
"Ayah bohong, kan?"
"Iya!"

Satu pukulan, sukses mendarat di bahuku. Anak gadisku mulai beranjak remaja, dan mengaku sebagai Kpopers sejak lama. Entah kapan bermula, yang aku tahu, Jeon Jung Kook adalah idolanya.

Bukti pengakuan itu? Tersedotnya nyaris setengah kapasitas memori di laptopku. Berbentuk satu folder berukuran besar, dengan tulisan "All about BTS"

Plus anak-anakan folder, yang mencantumkan masing-masing nama anggota grup BTS, berisi kumpulan foto dan video. Khusus Jung Kook, diberi judul "My Idol".

Selain itu, kubaca, ada juga nama-nama lain. Semisal grup Twice, Black Pink, dan Red Velvet.

Bagaimana tanggapanku? Hingga hari ini, Aku masih belajar memahami perasaan dan keadaan yang dialami anakku itu.  

Situasi yang dihadapi anakku saat ini, walau tak persis sama, kuanggap mirip kondisi masa remajaku dulu. Sebagai orangtua, aku juga pernah menjalani sebuah era yang kusebut Masa Remaja Tanggung (Mareta).

Aku cerita, ya...

Mengenang Sebuah Era, di Masa Remaja Tangggung

Masih ada yang ingat Breakdance (tarian patah-patah)?

Dulu, saat demam breakdance. Di pinggir jalan atau di lapangan, khususnya hari minggu, akan ada sekumpulan anak muda, berbekal suara musik dari tip yang masih menggunakan kaset pita. Aku tentu saja ikutan!

Bergantian atau bersamaan, unjuk kebolehan melakukan tarian yang mengandalkan kelenturan tubuh itu. Mulai dari kelenturan kaki mirip walk moon-nya Michael Jackson, kelenturan tangan bak artis pantomim, hingga tarian perut plus pelintiran kepala.

Ada juga pertunjukan paket lengkap! Semisal gaya kura-kura terbalik, cacing kepanasan, atau jalan kepiting. Pokoke, masa itu, siapa yang bisa breakdance, keren!

Sependekamatanku. Beberapa gerak tarian grup band idola anakku itu, juga menggunakan dasar-dasar gerakan breakdance. Atau aku keliru, ya?

Gegara Lupus, Rambut pun Berjambul

Saat ada film Lupus, setelah booming buku serialnya. Maka, tiada hari tanpa mengunyah permen karet. Anggaran jajan diatur dengan cermat, agar bisa membeli permen karet.

Aku butuh sekian minggu, berlatih membuat gelembung karet. Dengan derita lidah, bibir, dan rahang yang sukar dijelaskan. Tujuannya? Hanya untuk pamer kepada teman, jika aku pun bisa seperti mereka.

Tak hanya itu. Potongan rambut juga ditata sedemikian rupa. Rambut disisir berjambul, tak lupa diolesi putih telur. Kenapa putih telur? Ilmu anak-anak di kampungku masa itu, biar bentuk jambulnya stabil dari gangguan angin.

Tak jarang, urusan rambut yang lebih panjang di atas ubun-ubun itu menjadi masalah. Walau sudah disembunyikan rapi di balik topi, atau diolesi minyak rambut atau putih telur, tetap saja ketahuan, dan menjadi sasaran gunting saat guru razia sebelum upacara.

Pernah ada temanku yang nekad melawan, ujung-ujungnya malah lebih parah. Aku termasuk kaum pasrah. Namun, dalam hati tetap saja berucap, "teganya, teganya, teganya!"

Keriuhan dan kelucuan akan hadir, ketika semua rebutan menganggap dirinya sebagai
Lupus. Susah mendapatkan teman yang mau dibujuk dan ikhlas berperan sebagai Boim atau Gusur.

Aku tak bisa nulis alasannya, nanti dianggap body shaming. Jadi, karakter tokoh pada serial Lupus, sila seluncur di Mbah Gugel, ya?

Catatan Si Boy yang Hanya Bisa Bermimpi

Kata Macho dan Cool, mungkin istilah yang bisa digunakan sekarang.

Bayangkan saja, si Boy digambarkan sosok anak muda, berwajah ganteng, punya badan bagus dan kaya. Mobil dan motor tinggal pakai, sebab tersedia di garasi. Satu lagi! Dia jadi idola dan rebutan cewek-cewek cantik!

Aku cukup mamahami kecemburuan dan rasa pilu para lelaki yang satu generasi dengan Rano Karno atau Roy Marteen saat muda dulu. Hahaha...

Walau film Catatan si Boy tak sedahsyat dan sesyahdu Kuch Kuch Hota Hai yang dibintangi Shah Rukh Khan dan Kajol. Namun, keberadaan film itu, cukup melekat di ingatan masa remajaku dulu.

Karena harus menerima fakta, bukan anak orang kaya, hanya punya sepeda, tak punya motor apalagi mobil. Juga kesadaran jika bentuk wajah secukupnya, serta banyak hal yang tak bisa diungkapkan. Maka, dilakukanlah peniruan semampunya.

Aku ingat dulu! Rambut yang awalnya berjambul gegara deman Lupus, akhirnya berubah gaya. Kekadang masuk Gank Belah Tengah. Di waktu lain, pindah ke Blok Belah Pinggir. Tergantung rambut Onky Alexander yang terlihat di tipi.

Gaya bicara dan gaya jalan, diatur biar tampak elegan! Halaaah...

Semua akan riang dan senang jika dipanggil dengan sapaan Boy. Dan, akan marah jika ada lidah yang keseleo, kemudian memanggil dengan sebutan Emon!

Ilustrasi menonton konser musik (sumber gambar: pixabay.com)
Ilustrasi menonton konser musik (sumber gambar: pixabay.com)
Mengambil Nilai Positif jika Memiliki Idola

Menurut ingatanku. Tiga kejadian demam idola yang aku tulis sebagai kenangan di atas, memililik dampak berbeda. Di luar akses negatif, kucoba mengambil nilai positif jika memiliki Idola

Kekonyolan masa itu, kuanggap sebagai proses pencarian identitas. Mungkin, saat ini disebut rute menggali potensi dan meniti jati diri.

Pertama. Mengenal dan Meniru

Saat Demam Breakdance, aku dan teman-teman merasakan itu sebagai kegiatan fisik yang menawarkan tawa juga keringat.

Antar teman akan saling mengajari dan menirukan. Serta merasakan kebahagiaan dan kepuasan, saat tarian itu bisa dilakukan bersama secara kompak!

Selain hanya butuh tip dan kaset. Breakdance adalah kegiatan yang murah meriah. Meski ada beberapa gerakan yang cenderung berbahaya, tapi namanya teman, pasti akan saling menjaga, tah?

Kedua. Tak Hanya Meniru, tapi Belajar Mengambil Hikmah

Saat demam Lupus, dibalik ulah iseng dan tampilan cueknya, sosok itu juga layak ditiru. Pada jalan ceritanya, Selain sayang pada ibu dan adik. Lupus juga murid yang pintar!

Jika berani mengakui diri sebagai Lupus, tak hanya punya jambul, dan mampu membuat gelembung dari permen karet. Namun, mesti pintar! 

Jika tidak? Tentu saja dianggap Lupus Abal-abal atau Lupus Sortiran.

Ketiga. Mengenal Batas Diri dan Bermimpi.

Berbeda halnya, ketika menyikapi figur Boy! Aku pribadi seperti melakukan perbandingan mubazir. Bukan lagi mengukur jarak langit dari bumi. Tapi membayangkan rentang jarak antara matahari dan planet Pluto!

Aku  mulai mengenal keterbatasan yang dimiliki. Menyadari, tak semua bisa ditiru atau dimiliki. Sambil menikmati, dan diam-diam tetap merakit mimpi. Andai bisa seperti si Boy!

Jika saat ini, rakitan mimpi itu jauh dari kenyataan. Setidaknya, di masa kecil, punya impian, kan?

Apalagi, seiring pertambahan usia dan panjang-pendek pengalaman, mimpi pun sering berganti. Atau mungkin tertukar? Aih...

Ilustrasi anak dan mikropon. Mengenal, meniru dan mengukur batas diri (sumber gambar: pixabay.com)
Ilustrasi anak dan mikropon. Mengenal, meniru dan mengukur batas diri (sumber gambar: pixabay.com)
Terus, Bagaimana Sikapku pada Anakku?

Sejujurnya, sebagai orangtua, kecemasan dan kekhawatiranku pasti ada.

Jangan-jangan kesukaan itu berdampak buruk! Akan mengganggu pelajaran dan tugas sekolah, menyita waktu belajar beberes rumah dan lain sebagainya.

Jangan-jangan figur Jung Kook yang hingga hari ini menjadi makhluk sempurna sejagat bagi anak gadisku, ternyata seperti bulan purnama. Hanya sempurna di tanggal pertengahan bulan?

Masih banyak barisan jangan-jangan yang bisa aku tuliskan. 

Namun, jika kupaksakan untuk menghentikan kesukaan itu, jejangan aku malah membangun bendungan dengan pondasi yang rentan? Suatu saat bakal jebol dan ambrol?

Jadi, pilihanku saat ini adalah "mendampingi" sebagai teman. Selain menitip kepercayaan. Aku berharap, suatu saat anakku juga akan melalui rute seperti kujalani dulu.

"Mengenal, meniru, mengukur batas diri, dan menyusun mimpi."

Pernah ada yang bertanya, di grup Parenting. Apatah makna orangtua menemani itu, bermakna mengikuti?

"Iya. Tapi sekadarnya aja. Biar cerita nyambung!"
"Emang Abang tahu artis Kpop?"
"Bilang anakku, Ayah pasti menyesal jika tak mengenal Tzuyu dari Twice!"

Curup, 07.06.2021
zaldy chan
[Ditulis untuk Kompasiana]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun