Sejak kemarin, senyum tak lagi berhenti di tepi trotoar. Ia telah bersembunyi di bilik resah yang terbakar. Bulir-bulir sisa hujan berpadu melewati lorong-lorong waktu. Terlalu lelah membujuk benih-benih harap yang terlanjur membeku.
Tuhan. Haruskah tujuh hari dalam satu minggu?
Roda-roda kendaraan menghimpit jalanan beraspal. Memacu waktu di antara tarian hujan yang janggal. Dingin betah menyapa seraut wajah lesu. Mengeja sepotong hari yang melaju. Berlalu dalam tunggu.
Hujan tak pernah memilih jatuh!
Sepi berbisik lirih. Dari kejauhan, aku menatap seraut wajah yang letih. Meratap lalu lalang kendaraan yang tak kunjung diam. Menata jeruji nyeri yang menghunjam, meniti relung hati terdalam.
"Kita beli sayur dan buah lagi, Yah?"
Akh! Kau pun belum cukup mengerti tentang makna menunggu, Nak!
Curup, 17.04.2021
zaldy chan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H