"Bagaimana mau menjadi pembaca puisi, jika tak bisa memberikan apresiasi?"
Jleb! Kalimat ini, terlontar dari kolegaku, usai diminta menjadi tim seleksi pembaca puisi. Seleksi itu dilakukan untuk memilih calon peserta lomba Puitisasi Alqur'an pada Pekan Kreatifitas Mahasiswa PTKIN se-Sumatera, yang akan diselenggarakan di Padang pada pertengahan Juni nanti.
Dalam kolom penilaian yang tersedia, hanya ada tiga indikator. Artikulasi, Intonasi dan Ekspresi. Ketiga hal itu pun jamak kutemukan, jika terlibat dalam kegiatan lomba baca puisi. Dan, belum sempat kujumpai item Apresiasi pada blanko penilaian lomba.
Aku berusaha mengerti ungkapan bernada keluhan itu, karena kompetensi keilmuan kolegaku itu memang ranah Bahasa dan Sastra Indonesia.Â
Diam-diam, aku berusaha memahami lontaran itu dengan beberapa tahapan kausalitas (hubungan sebab-akibat).
"Jika mampu mengerti, maka bisa menikmati. Jika mampu menikmati, maka bisa memberikan apresiasi. Dan, jika mampu memberikan apresiasi, maka akan mudah berekspresi."
Menurut hematku, sastra adalah seni mengolah dan menaklukkan kata, tapi bermakna. Jadi, ada yang menulis dengan lugas, cadas dan keras namun tertata. Ada yang menulis dengan indah dan mengharu biru, tak jarang ada juga yang sulit dimengerti (absurd?).
Pembaca bisa terlibat memberikan beragam apresiasi. Kuambil contoh di Kompasiana, ruang sastra ada di kanal fiksiana. Pilihannya, novel, cerpen atau puisi. Selain terdapat kolom komentar, juga ada tujuh pilihan pembaca untuk mengapresiasi, kan?
Namun, bagaimana jika berpijak pada pendekatan dalam mengapresiasi karya sastra? Dengan menyigi sisa pengetahuan diri serta mengulik beberapa literatur di mesin penelusuran Mbah Gugel, Aku tulis intisarinya, ya?