"Hai, apa kabarmu? Sudah lama tak bersua, kan?"
"Aku little bit not good. Kayaknya around two years gak jumpa, ya?"
"Eh, bagaimana kuliahmu di Jogja?"
"Basically, not too good. Tapi Jogja is so amazing! Apalagi untuk take vacation."
"Aku mau sepertimu. Tapi ibuku tak mampu. Apalagi sampai menjual kebun seperti ibumu."
Dialog ini aku comot dalam sebuah tayangan film anak muda, ketika dua orang teman lama baru saja berjumpa. Salah satunya kuliah di kota (Jogja), dan yang satu lagi tetap di kampong. Tak kuliah, karena tak ada biaya.
Jika dikaitkan dengan tanggal pada hari ini, 21 Februari, sebagai peringatan Hari Bahasa Ibu Internasional. Maka percakapan dalam sketsa itu, memuat tiga "sindiran" sebagai pembelajaran dalam penggunaan bahasa.
Pertama. Perpindahan lokasi dengan alasan pendidikan, pekerjaan, perkawinan dan apapun itu, ternyata mampu "mencerabut" akar bahasa asal dari penuturnya. Seperti tuturan yang dicontohan anak muda yang kuliah di kota tersebut.
Jika berpijak pada definisi bahasa ibu, adalah bahasa awal yang dikenal dan dituturkan seseorang sejak lahir. Anggaplah bahasa ibu yang dimiliki oleh perantau itu bahasa Indonesia. Maka, dalam dialog itu, bahasa Indonesia tergerus dengan dominasi bahasa asing (Inggris).
Kedua. Bisa saja ada gugatan tataran nilai terhadap pilihan sang penutur dengan menggunakan bahasa asing (Bahasa Inggris). Namun ini juga bisa menjadi ukuran fenomena yang terjadi di masyarakat pada saat ini.
Jika meyakini, bahasa Indonesia sebagai bahasa ibu, atau bahasa daerah sebagai bahasa ibu. Idealnya, anak muda yang merantau akan menggunakan bahasa dari negeri perantauan (bahasa Jogja atau Jawa), kan? Alih-alih pulang kampung dan menggunakan bahasa asing?