"Itu urusanku. Kau mau?"
Empat tahun bersama menjejaki perjalanan waktu. Kau pasti mengenal getar suara itu.
"Kau percaya aku, kan?"
Wajahmu tertunduk. Jemari dua tanganmu bertaut. Ruang tamu dikuasai bisu. Dan, kubiarkan kau merelakan bulir bening di sudut matamu.
***
"Terima kasih, Mas. Aku..."
Tak selesai bisikmu. Terburu, kau lepaskan telapak kananmu. Mengajak jemari tangan kirimu memburu sehelai tisu. Air matamu menabur benih-benih kepercayaan. Air mata ayah dan ibumu menanam benih-benih kerelaan.
Mataku memetik butir-butir bahagia yang disemai ratusan tatap mata, saat tanganmu menyentuh lengan kiriku, menyalami tamu undangan di hari pernikahan. Enam tahun, waktu yang tak sebentar untuk menggores satu kata. Memiliki.
Tak ada benteng kukuh yang mampu menahan laju asa. Tak ada curam jurang yang bisa menghentikan lalu rasa. Pun tak akan pernah ada yang sanggup menghapus kata cinta. Jika keyakinan bersatu padu. Menyusun tunggu menaklukkan keangkuhan waktu.
"Simpan air mata itu. Untuk nanti!"
Kau tak pernah mendengar kalimat itu. Kupendam diam, di antara mimpi-mimpi malam yang kelamku.