"Jika politik sudah menjadi liar tanpa kendali, maka seni harus turun gunung untuk menjinakkannya."
Nyaris dengan nafas yang sama, barisan kalimat Syafii Maarif di atas, pernah diungkapkan oleh Seno Gumira Ajidarma.
Pernyataan itu bisa saja bernilai objektif, subjektif bahkan memicu dan memacu perdebatan. Bergantung sedalam dan sedangkal apa seseorang menyigi dan memahami politik, tah?
Jika melirik dengan bahasa kampungku, setidaknya ada beberapa cara memaknai Politik secara harfiah.
Bagi orang yang menyukai politik sebagai rumpun keilmuan, politik itu adalah usaha bersama yang dilakukan untuk kebaikan bersama. Ada juga yang memahami politik itu semua hal yang berkaitan dengan penyelenggaraan pemerintahan dan negara.
Teman-temanku dalam diskusi ngalor-ngidul di kedai kopi, semisal musim pemilu dan pilkada, politik itu menyempit pada partai politik dan politikus, sebagai upaya untuk meraih serta mempertahankan kekuasaan.
Jika berlatar belakang kelompok kepentingan, organisasi massa, atau lembaga swadaya masyarakat. Politik itu adalah proses hulu-hilir sebuah keinginan. Mulai dari perumusan hingga pelaksanaan kebijakan publik.
Namun jangan lupa! Ada juga yang memandang politik itu sebagai sebuah seni. Yaitu "seni mempengaruhi". Baik secara lisan maupun tulisan.
"Power of Beauty" dalam kancah politik pada artikel ini adalah seni dalam makna keindahan merangkai kata-kata. Jangan pernah meremehkan jika seseorang memiliki kemampuan ini. Sebab sanggup memikat dan akhirnya mempengaruhi orang banyak. Tak hanya menenangkan, tapi bisa menyenangkan.