Sketsa I.
Mata itu mulai terlatih menyembunyikan rasa letih. Tak lagi ada air mata atau tatapan menagih iba.
"Kau bisa menggambar, kan?"
Mulut itu pun terlatih membisu, satu jari mengukir gambar perahu. Di atas pasir berdebu.
Resahku menderu. Berlari mengejar laut tenang membiru. Usai kubaca deret aksara tertulis di atas gambar perahu: Ayah.
Sketsa II.
Mata itu membungkam gelisah. Meredam genangan air mata agar tak pecah. Menahan helai asa biar tak lagi basah.
"Kau mau ikut?"
Mulut itu membeku. Dua tangan mengepal kaku. Membiarkan bisu, berteduh di bawah tenda pengungsian berwarna biru.
Riak ombak merajut sepi. Menawarkan hari tanpa mimpi. Lautku menjadi batas janji.
Sketsa III.
Lelaki itu menengadah pada langit jingga. Senja adalah bilik rahasia. Air mata.
"Kau masih menunggu?"
Angin melempar tanya. Aku melontar doa. Lelaki itu memelukku. Laut mengajak sembunyi di dalam buku.
Lelaki itu. Bayanganku.
Curup, 26.01.2021
zaldychan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H