Kurang lima belas menit dari putaran waktu dua puluh empat jam. Tiga kali, aku harus berurusan dengan Seruni. Kalimat yang sama, dengan tekanan nada suara yang sama.
"Mas tidak adil!"
Kemarin, kali pertama kudengar. Ketika memasukkan motor ke ruang tamu usai pulang kerja. Azan magrib masih berkumandang di menara masjid di sebelah rumah. Kuabaikan kalimat itu saat kudengar iqomah. Segera berlari ke kamar. Mandi. Kemudian tidur.
Usai salat subuh, aku tidur lagi. Dan terbangun lima menit sebelum pukul tujuh. Seruni mengulang kembali ujaran itu. Aku tersenyum. Tuntutan berlaku adil, biasanya dialami hakim atau pelaku poligami. Tentu saja, aku bukan keduanya. Â Â
Namun tidak senja tadi. Seruni menghentikan langkahku di pintu dapur. Menyeret langkahku kembali ke kamar. Mataku dipaksa memandang layar monitor yang masih menyala. Aku lupa menutup dan menyimpan cerita pendek yang terakhir kutulis.
"Kenapa namanya Gadis?"
Huft! Aku tersadar. Dua puluh empat jam lewat satu menit, tiga pernyataan sekaligus tuduhan Seruni itu, berawal dari nama tokoh di dalam ceritaku. Sejauh ini, Seruni tak pernah menampakkan perasaannya padaku.
"Kau cemburu?"
Pertanyaan sia-sia. Tak akan ada jawaban untukku. Setelah empat tahun tinggal serumah. Tak terhitung nama tokoh yang pernah kutulis. Baru kali ini Seruni ajukan keberatan. Kusimpan rasa penasaran. Terkadang, lebih baik menunggu daripada bertindak.
"Hapus nama itu!"
"Apa yang salah?"